Well, quote bagus ini adalah milik orisinil dari buku
kumpulan cerpen “Pindah”, yang dipinjamkan seseorang ke aku. Aku sedang tidak
menulis resensi buku itu sih. Tetapi hanya sekedar membagi pengalamanku ketika
berpindah – pindah kosan. Sampe ke kos yang sekarang dan aku rasa berhenti di
sini sampai aku lulus. Dan quote dari buku “Pindah” ini adalah yang paling
tepat menggambarkan pengalamanku pindah kosan dua kali.
Anyway, let’s get the story done.
Aku pertama kali ngekos adalah di Gubeng Kertajaya 7L, di
mana di situ adalah tempat aku memulai, mengalami dan mencerna banyak sekali
pelajaran akademik dan non akademik. Di kos Gubeng Kertajaya itu juga-lah
tempat aku dipertemukan dengan seorang partner in crime dari Balikpapan, Tyan
Ristanto.
Cerita ketika aku bisa sekosan sama sahabatku yang satu itu,
adalah dimulai dari saat aku masih ngekos sendirian. Ada kamar kosong di lantai
satu, dan aku sudah menawarkan ke hampir semua teman sejurusan dan tidak ada
yang mengiyakan. Dan Tyan, adalah teman terakhir yang aku tawari kamar kosong
di kosanku itu. Tentu saja, seperti kebanyakan yang lain, ia juga menolak
tawaranku. Sampai suatu malam di awal semester, aku sedang bermain DotA dengan
Tatit, Bima, dan Gebi, kawan – kawan DotA-ku di kampus.
Malam itu tiba – tiba
Tyan meneleponku, dan kemudian aku kaget karena suaranya dia terdengar panik.
Ternyata, malam itu dia tiba – tiba berubah pikiran dan mau ambil kamar kosong
yang ada di kosanku. Awalnya dia menolak karena alasan dia sudah dicarikan
kosan sama Budhenya. Tapi karena kejauhan, dia akhirnya mau cari kosan yang
dekat kampus saja. Dan tawaranku adalah yang paling bisa dipertimbangkan Tyan
saat itu.
Aku langsung cabut dari warnet dan menuju kosan. Tyan
nggugupi. Karena dia sudah membatalkan kontrak dengan kosan yang dicariin
Budhenya. Kalau tidak segera mendapatkan kosan baru, Tyan bakal kena marah
besar. Karena itu dia sedikit panik ketika memintaku untuk segera balik ke
kosan dan memastikan kamar yang kosong itu belum dibooking orang.
And praise the Lord, kamar itu masih kosong. Cuman ada
masalah baru: Motor.
Bu Sum, yang punya kosan, gak mau kalau penghuni baru kamar
itu nanti bawa motor. Karena kapasitas parkir motor di kosan itu terbatas.
Akhirnya aku membujuk Bu Sum kalau motornya Tyan nanti bisa ditaruh di sana
atau sini atau gimana aja lah yang penting Tyan-nya dapet tempat di kosan.
Setelah sedikit lama berpikir, akhirnya Bu Sum mengiyakan.
At last, aku akhirnya punya teman sekosan yang juga
sejurusan untuk pertama kali. Tyan Ristanto.
Aku ngekos di Gubeng Kertajaya itu sudah lumayan lama
sekali. Banyak sekali cerita dan berbagi pengalaman hidup dengan teman – teman
sekosan di sana. Barok, Amik, Kakaknya Amik, dan Tyan. Dan akhirnya, pada suatu
kejadian, regulasi Bu Sum tiba – tiba saja berubah.
Aku suka menempel nota dan catatan apa pun di dinding
kosanku saat itu. Sekedar untuk pengingat bahwa ada kenangan dari tiap kertas
yang aku tempel. Tapi pada suatu hari setelah aku pulang dari bermain futsal,
tiba – tiba dinding kamarku bersih. Aku langsung menanyai Bu Sum ke mana kertas
– kertasku itu. Ia bilang menyimpannya, dan ia juga memarahiku karena aku
dianggapnya bandel dan susah dibilangi. Katanya, ia sudah memperingatkanku
untuk melepas kertas – kertas itu dari tembok. Padahal, aku sudah melakukan
kebiasaan menempel kertas di tembok itu sejak semester satu. Dan baru semester
empat ini tiba – tiba Bu Sum berbuat demikian. Aku tidak ingin menduga macam –
macam atau mengatainya sedang terkena masalah atau bagaimana. Tapi ya mau
bagaimanapun juga aku kesal, karena dengan membredel isi kamarku artinya Bu Sum
sudah memberikan pertanda insecure untuk tinggal di situ.
Aku akhirnya menjadi tidak suka berada di situ. Bu Sum
terlalu ikut campur dalam isi dan ‘ornamen’ kamarku. Yang paling membuatku
marah adalah ada sketch gambarku yang ku tempel di tembok dan Bu Sum melepasnya
dengan sembarangan hingga kertasnya robek. Dalam semalam, bukti – bukti
empirikku melakukan sesuatu yang berharga untuk dikenang ke mana – mana jadi porak
poranda. Ah, aku selalu kesal ketika mengingatnya.
Anyway, itu akhirnya menjadi awal perpindahanku. Aku
mengemasi barang – barangku berhari – hari. Dengan tetap bertahan di kamar
Gubeng Kertajaya karena urusan barang – barangku yang belum selesai ter-packing.
Aku menyempatkan waktu sebelum kuliah dengan mencari kosan di daerah lain yang
dekat Universitas Airlangga Kampus B.
Sampai akhirnya aku menemukan sebuah rumah sederhana yang
menempelkan tulisan “Terima Kost Pria” di gang Gubeng Jaya. And, I take it
anyway.
Perpindahanku dari Gubeng Kertajaya ke Gubeng Jaya ini benar
– benar tidak pernah aku bayangkan. Aku dari awal ngekos sudah ada bayangan
kalau aku bakal di Gubeng Kertajaya terus sampai lulus. Tapi pada akhirnya, aku
pindah juga. Ya sudahlah. Akhirnya aku berpamitan dan meminta maaf ke semua
rekan yang ada di kos lama. Termasuk Bu Sum. And thanks a lot for Tim CSR
Oposisi, aku akhirnya bisa pindah dengan barang – barang banyak ini ke kosan
yang baru. Hahaha.
Kosan baru, pengalaman baru. Di Gubeng Jaya ini aku hanya
bertahan satu semester. Tapi sudah lumayan membekas pengalaman berada di sini.
Aku mengenal nenek yang baik hati, yang sering memasakkan sesuatu bila beliau
melihatku ada dan lagi nganggur di kamar kosan. Ada juga ibu kos sekeluarga yang
baik, yang menawariku kasur tambahan, dan selalu bersikap baik pada semua
penghuni kosan. Kamar sebelahku diisi oleh mahasiswa Farmasi yang sudah
menjalani profesi, dan sebelahnya lagi adalah suami istri yang punya seorang
anak kecil laki – laki yang lucu. Aku menjalani suasana yang tenang di sini.
Tapi saking tenangnya, aku juga tidak nyaman sendiri. Aku jarang sekali di
kamar. Kamarku aku biarkan berantakan apa adanya. Karena entah kenapa firasatku
bilang aku gak bakal lama di sini.
Akhirnya memasuki semester 6, firasatku benar. Kawanku
Lukman, mengatakan kalau ada kamar kosong di kosan yang ia juga tempati. Tanpa
pikir panjang aku mengiyakannya.
Finally, second moving, and the last moving.
Kali ini aku pindah lagi, untuk yang kedua dan terakhir,
dibantu teman –temanku Bima, Ayiph, dan Luqman. Aku juga dibantu Tatit untuk
menyusun dan membuat rak – rak buku di kamarku yang baru.
Well, I’m feeling blessed to have such good friends around
me.
Di kosan baru di Jojoran ini, aku benar – benar feeling the
living. Dibandingkan dua kos yang pernah aku tempati, ini yang terbesar dengan
sepuluh kamar, atau lebih dikit. Dan di sini temannya asik – asik. Mereka punya
hobi bermain DotA, dan banyak juga yang hobi musik. Di sini juga ada Lukman
teman sejurusan yang bisa jadi teman sharing kuliah. Dekat dengan warung giras,
untuk sekedar ngopi atau cari makan. Dan akhirnya kamarku kembali sering
dikunjungi teman – teman lagi. Feeling so alive.
At least, aku juga tidak akan pernah melupakan waktu – waktu
yang udah aku habiskan di kos – kos sebelumnya. Tyan masih jadi sahabat, my
partner in crime. Aku juga masih sering tanya gimana keadaan kosnya Bu Sum dan
kabar kamarku dulu. Kata Tyan, semenjak aku pergi, kosan Bu Sum jadi lebih
sepi. Kamarku gonta – ganti yang ngisi. Tapi ya sudahlah, mungkin itu lebih
baik untuk mereka yang di sana. Aku juga masih sering ke daerah kosan Gubeng
Jaya. Ada tempat ngeprint yang murah dan laundry yang baik juga di sana, hehe.
Time change, dua kata ini benar
– benar terasa buatku ketika bercerita tentang perpindahan. Banyak yang aku
dapat dari dua kali perpindahan. Dan memang benar – benar ada ‘indah’ dalam
setiap ‘pindah’. J