Twitter

Jumat, 02 Mei 2014

Oleh - oleh dari Kawan

“Ini bukan masalah sudah berapa banyak karya yang kau buat selama kau hidup sekian tahun. Tapi ini adalah masalah bagaimana kau mensyukuri apa pun yang telah kau lakukan untuk menjalani hidup sepanjang umurmu yang sekarang.”


Dari kawan saya Reyhan, yang juga mengutip dari kawan barunya yang dijumpai di Ibukota.

“Karena Ada ‘Indah’ dalam Setiap ‘Pindah’”



Well, quote bagus ini adalah milik orisinil dari buku kumpulan cerpen “Pindah”, yang dipinjamkan seseorang ke aku. Aku sedang tidak menulis resensi buku itu sih. Tetapi hanya sekedar membagi pengalamanku ketika berpindah – pindah kosan. Sampe ke kos yang sekarang dan aku rasa berhenti di sini sampai aku lulus. Dan quote dari buku “Pindah” ini adalah yang paling tepat menggambarkan pengalamanku pindah kosan dua kali.
Anyway, let’s get the story done.

Aku pertama kali ngekos adalah di Gubeng Kertajaya 7L, di mana di situ adalah tempat aku memulai, mengalami dan mencerna banyak sekali pelajaran akademik dan non akademik. Di kos Gubeng Kertajaya itu juga-lah tempat aku dipertemukan dengan seorang partner in crime dari Balikpapan, Tyan Ristanto.

Cerita ketika aku bisa sekosan sama sahabatku yang satu itu, adalah dimulai dari saat aku masih ngekos sendirian. Ada kamar kosong di lantai satu, dan aku sudah menawarkan ke hampir semua teman sejurusan dan tidak ada yang mengiyakan. Dan Tyan, adalah teman terakhir yang aku tawari kamar kosong di kosanku itu. Tentu saja, seperti kebanyakan yang lain, ia juga menolak tawaranku. Sampai suatu malam di awal semester, aku sedang bermain DotA dengan Tatit, Bima, dan Gebi, kawan – kawan DotA-ku di kampus. 

Malam itu tiba – tiba Tyan meneleponku, dan kemudian aku kaget karena suaranya dia terdengar panik. Ternyata, malam itu dia tiba – tiba berubah pikiran dan mau ambil kamar kosong yang ada di kosanku. Awalnya dia menolak karena alasan dia sudah dicarikan kosan sama Budhenya. Tapi karena kejauhan, dia akhirnya mau cari kosan yang dekat kampus saja. Dan tawaranku adalah yang paling bisa dipertimbangkan Tyan saat itu.

Aku langsung cabut dari warnet dan menuju kosan. Tyan nggugupi. Karena dia sudah membatalkan kontrak dengan kosan yang dicariin Budhenya. Kalau tidak segera mendapatkan kosan baru, Tyan bakal kena marah besar. Karena itu dia sedikit panik ketika memintaku untuk segera balik ke kosan dan memastikan kamar yang kosong itu belum dibooking orang.

And praise the Lord, kamar itu masih kosong. Cuman ada masalah baru: Motor.
Bu Sum, yang punya kosan, gak mau kalau penghuni baru kamar itu nanti bawa motor. Karena kapasitas parkir motor di kosan itu terbatas. Akhirnya aku membujuk Bu Sum kalau motornya Tyan nanti bisa ditaruh di sana atau sini atau gimana aja lah yang penting Tyan-nya dapet tempat di kosan. Setelah sedikit lama berpikir, akhirnya Bu Sum mengiyakan.

At last, aku akhirnya punya teman sekosan yang juga sejurusan untuk pertama kali. Tyan Ristanto.
Aku ngekos di Gubeng Kertajaya itu sudah lumayan lama sekali. Banyak sekali cerita dan berbagi pengalaman hidup dengan teman – teman sekosan di sana. Barok, Amik, Kakaknya Amik, dan Tyan. Dan akhirnya, pada suatu kejadian, regulasi Bu Sum tiba – tiba saja berubah.

Aku suka menempel nota dan catatan apa pun di dinding kosanku saat itu. Sekedar untuk pengingat bahwa ada kenangan dari tiap kertas yang aku tempel. Tapi pada suatu hari setelah aku pulang dari bermain futsal, tiba – tiba dinding kamarku bersih. Aku langsung menanyai Bu Sum ke mana kertas – kertasku itu. Ia bilang menyimpannya, dan ia juga memarahiku karena aku dianggapnya bandel dan susah dibilangi. Katanya, ia sudah memperingatkanku untuk melepas kertas – kertas itu dari tembok. Padahal, aku sudah melakukan kebiasaan menempel kertas di tembok itu sejak semester satu. Dan baru semester empat ini tiba – tiba Bu Sum berbuat demikian. Aku tidak ingin menduga macam – macam atau mengatainya sedang terkena masalah atau bagaimana. Tapi ya mau bagaimanapun juga aku kesal, karena dengan membredel isi kamarku artinya Bu Sum sudah memberikan pertanda insecure untuk tinggal di situ.

Aku akhirnya menjadi tidak suka berada di situ. Bu Sum terlalu ikut campur dalam isi dan ‘ornamen’ kamarku. Yang paling membuatku marah adalah ada sketch gambarku yang ku tempel di tembok dan Bu Sum melepasnya dengan sembarangan hingga kertasnya robek. Dalam semalam, bukti – bukti empirikku melakukan sesuatu yang berharga untuk dikenang ke mana – mana jadi porak poranda. Ah, aku selalu kesal ketika mengingatnya.

Anyway, itu akhirnya menjadi awal perpindahanku. Aku mengemasi barang – barangku berhari – hari. Dengan tetap bertahan di kamar Gubeng Kertajaya karena urusan barang – barangku yang belum selesai ter-packing. Aku menyempatkan waktu sebelum kuliah dengan mencari kosan di daerah lain yang dekat Universitas Airlangga Kampus B.

Sampai akhirnya aku menemukan sebuah rumah sederhana yang menempelkan tulisan “Terima Kost Pria” di gang Gubeng Jaya. And, I take it anyway.

Perpindahanku dari Gubeng Kertajaya ke Gubeng Jaya ini benar – benar tidak pernah aku bayangkan. Aku dari awal ngekos sudah ada bayangan kalau aku bakal di Gubeng Kertajaya terus sampai lulus. Tapi pada akhirnya, aku pindah juga. Ya sudahlah. Akhirnya aku berpamitan dan meminta maaf ke semua rekan yang ada di kos lama. Termasuk Bu Sum. And thanks a lot for Tim CSR Oposisi, aku akhirnya bisa pindah dengan barang – barang banyak ini ke kosan yang baru. Hahaha.

Kosan baru, pengalaman baru. Di Gubeng Jaya ini aku hanya bertahan satu semester. Tapi sudah lumayan membekas pengalaman berada di sini. Aku mengenal nenek yang baik hati, yang sering memasakkan sesuatu bila beliau melihatku ada dan lagi nganggur di kamar kosan. Ada juga ibu kos sekeluarga yang baik, yang menawariku kasur tambahan, dan selalu bersikap baik pada semua penghuni kosan. Kamar sebelahku diisi oleh mahasiswa Farmasi yang sudah menjalani profesi, dan sebelahnya lagi adalah suami istri yang punya seorang anak kecil laki – laki yang lucu. Aku menjalani suasana yang tenang di sini. Tapi saking tenangnya, aku juga tidak nyaman sendiri. Aku jarang sekali di kamar. Kamarku aku biarkan berantakan apa adanya. Karena entah kenapa firasatku bilang aku gak bakal lama di sini.

Akhirnya memasuki semester 6, firasatku benar. Kawanku Lukman, mengatakan kalau ada kamar kosong di kosan yang ia juga tempati. Tanpa pikir panjang aku mengiyakannya.

Finally, second moving, and the last moving.

Kali ini aku pindah lagi, untuk yang kedua dan terakhir, dibantu teman –temanku Bima, Ayiph, dan Luqman. Aku juga dibantu Tatit untuk menyusun dan membuat rak – rak buku di kamarku yang baru.

Well, I’m feeling blessed to have such good friends around me.

Di kosan baru di Jojoran ini, aku benar – benar feeling the living. Dibandingkan dua kos yang pernah aku tempati, ini yang terbesar dengan sepuluh kamar, atau lebih dikit. Dan di sini temannya asik – asik. Mereka punya hobi bermain DotA, dan banyak juga yang hobi musik. Di sini juga ada Lukman teman sejurusan yang bisa jadi teman sharing kuliah. Dekat dengan warung giras, untuk sekedar ngopi atau cari makan. Dan akhirnya kamarku kembali sering dikunjungi teman – teman lagi. Feeling so alive.

At least, aku juga tidak akan pernah melupakan waktu – waktu yang udah aku habiskan di kos – kos sebelumnya. Tyan masih jadi sahabat, my partner in crime. Aku juga masih sering tanya gimana keadaan kosnya Bu Sum dan kabar kamarku dulu. Kata Tyan, semenjak aku pergi, kosan Bu Sum jadi lebih sepi. Kamarku gonta – ganti yang ngisi. Tapi ya sudahlah, mungkin itu lebih baik untuk mereka yang di sana. Aku juga masih sering ke daerah kosan Gubeng Jaya. Ada tempat ngeprint yang murah dan laundry yang baik juga di sana, hehe.


Time change, dua kata ini benar – benar terasa buatku ketika bercerita tentang perpindahan. Banyak yang aku dapat dari dua kali perpindahan. Dan memang benar – benar ada ‘indah’ dalam setiap ‘pindah’. J

Puisi: Menulis Prosa, Menuangkan Asa, Menyuapi Rasa Demi Rasa.



Aku punya buku baru.

Sampulnya merah, dan ini adalah pemberian Bapak di tahun baru 2014.

Tidak ada yang menarik dari buku ini, awalnya. Melihat berlembar – lembar halaman yang terisi tanggalan di awal buku, di pikiranku aku hanya akan mengisi buku ini dengan catatan agenda – agenda penting, yang mungkin berkorelasi dengan apa yang akan, atau sedang aku jalani untuk tetap berjalan pada rutinitas. Tapi setelah menelisik halaman per halamannya, aku menemukan bagian yang menarik. Catatan 2014.

Banyak halaman kosong di bagian catatan ini.  Aku pikir, mungkin akan menarik kalau aku mengisinya dengan sesuatu baru, yang belum pernah aku lakukan selama ini. Sampai aku mengingat – ingat lagi hobi atau kegemaranku di masa kecil, dan aku menemukan sesuatu yang masih hidup di otakku: puisi.

Aku menulis puisi sejak Sekolah Dasar. Saat itu, aku sedang menyukai seseorang yang aku masih ingat namanya: Kartika. Saat itu aku merasakan perasaan yang konyol dan polos. Badan masih terlalu kecil untuk menopang prosa – prosa yang berat, dan aku hanya mencorat – coret bukuku dengan kata – kata yang lucu untuk dibaca saat aku sudah berumur 21 sekarang. Tapi aku tidak pernah lupa saat – saat itu. Apa yang aku tulis saat SD, beranjak ke SMP hingga SMA adalah proses aku belajar tentang bagaimana berekspresi dengan rangkaian kata. Dan aku menyukai proses itu.

Menulis puisi secara rutin, adalah sesuatu yang belum pernah aku lakukan. Dulu aku menulis puisi hanya sekedar ketika merasakan sesuatu yang menggelikan di hati. Atau ketika majalah sekolah membuka lowongan rubrik puisi untuk diisi. Dan aku sempat sekali dua kali mengirimnya.

Sekarang, aku punya buku agenda 2014 dengan banyak sekali halaman – halaman kosong untuk diisi. Jadi, yang aku lakukan sekarang adalah mengisinya dengan puisi – puisi yang kebetulan ada saja tiap hari terlintas di pikiranku untuk aku tuliskan. Dan total puisi yang sudah aku tulis di buku ini sudah mencapai jumlah 100 judul lebih, sejak aku menulisnya pada bulan Januari sampai April ini.

Hanya saja, sejak awal April 2014, aku mulai mengurangi kebiasaanku menulis puisi. Aku melihat sisa halaman yang aku punya di buku ini, dan aku merasa sayang jika nantinya halaman terakhir harus aku isi dengan sesuatu yang biasa. Aku ingin menulis halaman terakhir dengan puisi yang melewati proses panjang dan benar – benar bermakna untukku. Tiap puisi di buku agendaku memang bermakna sendiri untukku, tetapi halaman terakhir harus aku isi untuk merangkum semua perasaan dan intuisi yang benar – benar bisa membuat semua puisiku di buku ini berarti untuk dibaca dari awal hingga akhir. Karena itu, sampai tanggal 9 April 2014 ini, aku masih mencoba memutar – mutar kepala untuk menemukan rangkaian kata dan makna yang tepat untuk aku tuliskan ke halaman – halaman terakhir agenda 2014-ku ini.


Well, semoga nanti aku bisa mengakhiri catatan 2014 ini dengan puisi yang menjadi intisari dari bait – bait tempat tangan dan anganku mencari – cari.