Twitter

Kamis, 19 Juli 2012

Welutan di Tuban: 3 Hari, 3 Lokasi, dan 3 Situasi


"Ora wong Tuban nek durung tau mangan welut Tuban."

Dari dulu, tiap aku nyempetin pulang ke Tuban, yang bikin kangen itu ya welutnya. Pedes, pedes, dan super pedes, adalah tiga kata yang bisa nggambarin tiga varian welut yang aku tahu di Tuban: Bagong, Jangkar, dan Cemplon.

Welut itu sendiri adalah masakan olahan belut khas Tuban yang diracik dengan rempah-rempah dan bumbu pedas dengan rasa yang khas di tiap penjual yang berbeda. Bagong, adalah welut yang pedasnya nomor tiga. Nomor dua adalah Jangkar. Dan jawara pedasnya adalah Cemplon. Penilaian ini subyektif dari aku sendiri, kalau ada orang Tuban lainnya yang gak sependapat ya memang lidah gak bisa sama. Lagian, masih ada beberapa penjual welut lagi di Tuban yang aku belum tahu di mana dan bagaimana rasa welutnya. Buat yang lebih tahu mengenai urusan welut-welutan di Tuban, bagi infonya yaa ~

Cerita tentang 'Welutan di Tuban: 3 Hari, 3 Lokasi, 3 Situasi', adalah ceritaku tentang tiga hari berturut-turut makan siang dengan welut di tiga lokasi yang berbeda, dengan situasi yang berbeda pula.

---

Hari Selasa, 17 Juli 2012.
Lokasi Warung Welut Bagong
Situasi Ditemani Tia, mantanku saat masih kelas XII SMA

Setelah sekian lama tidak makan Welut Bagong, akhirnya hari ini aku makan juga. Diantara ketiga welut yang aku ceritakan di atas, Welut Bagong adalah yang paling ngangenin karena rasanya yang paling gurih dan paling enak, sayang harganya mahal. -_-

Aku menghabiskan 15.000 Rupiah untuk satu porsi Welut Bagong dengan satu bungkus nasi jagung dan segelas es dengan minuman bersoda. Estimasiku, Welut Bagong ini harganya 10.000 Rupiah, nasi jagungnya 1.000 Rupiah, dan es-nya 4.000 Rupiah.

Mahal?

POL, JEDUG

Tapi setidaknya rasa Welut Bagong ini sesuailah sama harganya yang mahal itu.

Aku baru saja pulang dari melayat di rumah temanku yang dulu juga OSIS, Ahmad Dimasqi. Selasa pagi mendadak ada kabar Ayahnya meninggal. Dan aku, yang Senin malam sudah janjian dengan Tia untuk beli Welut Bagong pada Selasa jam 10 pagi pun harus menunda janji ini dulu.

Setibanya di rumah Dimas, aku kembali merasakan atmosfir kehilangan dari salah satu dari kedua orang tua. Dulu, ketika aku melayat ke rumah Luqman, sohibku yang di Surabaya, aku merasakan bagaimana rasanya kehilangan seorang Ibu. Dan sekarang, aku merasakan bagaimana rasanya kehilangan seorang Ayah. Aku hanya bisa menyemangati Dimas. Tapi setidaknya, Dimas telah menunjukkan kepada Ayahnya bahwa dia mampu menembus pendaftaran Holcim dan saat ini dia sedang bersiap untuk menjalani pendidikan Holcim di Jawa Barat nanti. Aku tidak ikut ke pemakaman Ayahnya. Karena pemakaman Ayahnya, katanya menunggu adiknya yang dari Malang dulu sampai tiba di rumah Tuban. Apalagi banyak dari rombongan Manos juga pada pamitan pulang. Maka dari itu, akhirnya pukul 12.00 aku memutuskan untuk beranjak dari rumahnya Dimas.

Melihat jam sudah siang, aku ragu apakah masih sempat membeli Welut Bagong atau tidak. Masalahnya, Welut Bagong ini biasanya habis kalau sudah siang. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, karena aku juga sudah di kota, akhirnya aku putuskan untuk tetap membeli Welut Bagong. Dan syukurlah, sesampainya di Warung Welut Bagong aku dan Tia tidak kehabisan welut. Akhirnya kami makan di sana, dan aku bungkuskan satu untuk Ibuku di rumah.

---


Hari Rabu, 18 Juli 2012.
Lokasi Warung Welut Jangkar
Situasi Bersama dua dari empat sekawan: Simbah dan Mencret, minus si Sapi

Welut Jangkar adalah welut yang paling jarang aku makan. Dari SMA dulu, kalau mau welutan, ya kalau nggak Bagong ya Cemplon. Tapi rasanya juga enak kok welut ini. Nggak se-garing dan se-gurih Bagong, tapi tetep pedesnya mantap dan rasa rempah-rempahnya juga kerasa. Lagipula, alasan aku jarang makan Welut Jangkar ini juga gara-gara warungnya berada tepat di belakang Welut Bagong. Jadi kalau aku sempat beli welut, ya pasti aku belinya Welut Bagong sekalian. Harganya sama-sama mahal, sih -_-

Aku menghabiskan 16.000 Rupiah untuk satu porsi Welut Jangkar, dua bungkus nasi jagung, dan segelas es minuman bersoda. Dan sama dengan Welut Bagong, estimasiku Welut Jangkar ini harganya 10.000 Rupiah, dua bungkus nasi jagung 2.000 Rupiah, dan segelas es minuman bersoda 4.000 Rupiah.

Sama mahalnya dengan Welut Bagong -_-
Tapi setidaknya porsi welutnya yang besar dan banyak, sesuai lah dengan harganya itu.

Selasa sore HP-ku berbunyi, ternyata ada pesan dari Simbah. "Sesok nyemplon* jam 8:32" (*nyemplon = istilah untuk makan Welut Cemplon) Aku pun mengiyakan ajakan Simbah itu. Karena aku juga kangen sama pedesnya Welut Cemplon.

Rabu pagi, aku disuruh kakakku melegalisirkan ijasah SMA-nya. Aku pun mengirim pesan ke Simbah kalau aku mau ke SMA Negeri 1 Tuban dulu. Dan dia bilang kalau sudah selesai urusan di SMA langsung ke rumah Mencret saja. Perkiraanku sih bakalan ngantri lama ini kalau mau legalisir soalnya kelas XII periode 2011/2012 kan baru lulus. Tapi Simbah optimis kalau aku nggak akan lama-lama di SMA. Dan benar saja, hari ini SMA Negeri 1 Tuban lagi ada outbond untuk kelas X. Aku langsung menuju ruang Tata Usaha, dan di situ tidak ada siswa baru lulus yang mengantri untuk legalisir. Ngantri sih, enggak. Tapi fotokopian ijasah SMA mbakku yang ditolak. Gara-gara nggak membawa ijasah aslinya sih. Dan setelah aku telepon kakakku, ternyata ijasah aslinya malah ada di Blitar -_-

Akhirnya legalisir gagal, aku langsung menuju rumah Mencret, dan ternyata si Mencret lagi nyuci baju sama Ibunya. Biasanya, kalau Empat Sekawan mau ngadain acara dan ngumpulnya di rumahnya Mencret, kami nggak ngasih tahu si Mencret dan langsung main ngumpul aja. Karena itu aku pikir Mencret belum tahu tentang rencana nyemplon hari ini. Tapi ternyata si Mencret sudah diberitahu Simbah. Dan nggak sampai 15 menit aku di rumah Mencret, Simbah datang. Namun sayang sekali hari ini Empat Sekawan nggak bisa formasi lengkap. Sapi masih di Surabaya, dan sepertinya dia lagi berjuang untuk menempuh semester pendek. Aku hanya bisa mendoakan dari sini, semoga semester pendeknya si Sapi sukses dan bisa ngumpul bareng berempat lagi.

Jadi, cerita sebenarnya, aku, Simbah, dan Mencret mau nyemplon hari ini. Tapi ketika jam menunjukkan pukul 09.45 dan kami sampai di Warung Welut Cemplon di Merakurak, ternyata warungnya masih tutup -_-
Kami pun memutar jalan, dan karena kemarin aku udah mbagong* (istilah untuk makan Welut Bagong) aku akhirnya menyarankan untuk makan di Warung Welut Jangkar saja.

Setibanya di Warung Welut Jangkar, kami makan, dan menghabiskan waktu hampir satu setengah jam untuk ngobrol-ngobrol tentang berbagai macam hal. Mulai dari kuliah masing-masing sampai membahas angkatan dari tiap jurusan kami sendiri. Namanya juga udah lama gak ketemu, kami ngobrol sepuasnya sampai mbak-mbak yang di Warung Welut Jangkar ngasih kode non-verbal berupa bersih-bersih meja kami dan ngelihatin kami terus yang lagi cekikikan dan meramaikan warung itu. Aku yang ngebaca bahasa non-verbal mbak itu, akhirnya ngajak Simbah dan Mencret untuk pulang.

Dan ketika kami bertiga tidak bersuara lagi, ternyata seisi warung itu hening. Hanya suara bibir orang-orang yang lagi ngecap-ngecap makan saja di situ. Bisa jadi, orang-orang di warung itu sedari tadi ndengerin obrolan dan suara berpolusi kami bertiga saja.

Oalah.

---


Hari Kamis, 19 Juli 2012.
Lokasi Warung Welut Cemplon
Situasi Sendiri

Ini dia. Jawara masakan welut pedas di Tuban. Kalau sebelumnya aku bercerita bahwa aku udah lama nggak mbagong, aku sendiri juga udah lama nggak nyemplon. Dan tepat hari ini juga aku baru nyadar, tiga hari berturut-turut aku makan siang dengan Welut melulu. Tapi kalau hari ini nggak nyemplon, aku juga gak bakal kepikiran buat nulisin ini di blog, dan nyempetin ngefoto Welut Cemplon ini sebelum aku makan. Hahaha.





Aku menghabiskan 10.000 Rupiah untuk satu porsi Welut Cemplon, sepiring nasi, dan segelas es minuman bersoda. Estimasiku, Welut Cemplon ini harganya 4.000 Rupiah, sepiring nasi 2.000 Rupiah, dan segelas es minuman bersoda-nya 4.000 Rupiah.

Diantara ketiga masakan welut yang aku tahu, Cemplon adalah yang paling pedas, dan paling murah. Karena harganya yang murah, porsinya pun sedikit. Tapi bumbunya, dijamin ciamik dan bikin lidah gak nahan pedesnya sampai perjalanan pulang dari Warung Welut Cemplon. Aku pesen sepiring nasi ini juga buat tombo pedes. Kalau pesen nasi di sini, pasti dikasih banyak, sepiring penuh. Sesuai lah sama pedes welutnya  yang butuh tombo pedes yang lebih.

Gak tahu kenapa, hari ini aku tiba-tiba pengen nyemplon sendiri. Semalam kemarin di Twitter, Bagus Awaluddin ngemensyen aku dan Kamali dan ngajakin nyemplon hari ini. Tapi setelah hari Kamis ini nggak ada kabar gimana lanjutan ajakannya, akhirnya aku putuskan buat berangkat nyemplon sendiri. Itung-itung muasin perut pake welut sebelum puasa. Karena pas puasa nanti gak mungkin lah makan welut yang rata-rata warungnya buka jam 10 pagi-1 siang. Kalau mbungkus pun, pedes welutnya yang gak nahan, bisa-bisa bikin sakit perut ntar. Karena perut selama bulan puasa kan cuman diisi pas maghrib sama sahur doang.

Sepulang dari Warung Welut Cemplon, aku nyempetin foto-foto pemandangan yang aku temui di jalan. Karena di Surabaya, aku nggak akan pernah menemui pemandangan seperti ini :)






Sesampainya aku di rumah, aku ditanyain ibu, "Ben dino kok welutan ae?" (tiap hari kok makan welut terus?)
dan aku cuman bisa njawab "Lagi pengen, hehe."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar