Twitter

Rabu, 11 Juli 2012

Catatan Perjalanan ke Sempu IV : Kedatangan, Keraguan, dan Kebersamaan

Sabtu, 7 Juli 2012 pukul 15.30, akhirnya kami ber24 sampai di seberang Pulau Sempu.
Perjalanan selama seperempat hari kami habiskan dengan canda, tawa, nyanyi-nyanyi, ber-geje-ria, sampai mual-mual dan muntah-muntah.
But overall, kami sudah di sini. Di seberang Pulau Sempu.

Setibanya di sini aku dan teman-teman membagi tugas.
Tatit, Kipli, Bisri dan Geboy ke tempat mengurus perizinan. Aku, Mandor, Ayip, Bima, Razif, dan semuanya menurunkan barang-barang dan membersihkan truk dari sisa-sisa sampah, dan muntah -_-

Pukul 15.50 kami akhirnya berangkat menyeberang ke Pulau Sempu, dengan membagi dua kelompok besar untuk naik dua perahu.


Oh iya, ada satu lagi yang gak boleh dilupakan:

MONSTER

Ya, MONSTER, adalah nama yang disematkan oleh Kopler ke tas yang brisi persediaan air minum, cola, dan perlengkapan lainnya yang bobotnya mencapai sekitar 40Kg.

Awalnya Kopler yang mengangkut MONSTER. Tapi karena sampai di seberang ternyata terlalu berat untuk dipaksakan, akhirnya MONSTER dibedah dan isinya beberapa dibagi rata agar bobotnya berkurang, dan Bisri-lah yang akhirnya menopang MONSTER ini selama perjalanan menyusuri hutan.

Ada tiga pilihan jalan; Kanan, kiri, atau tengah.

Kami mengambil tengah, dan setelah masuk beberapa meter ke depan memijakkan kaki di tanah becek bin cekat, kami menemui jalan buntu. Kami pun berbalik, dan akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan kiri.

Sepanjang perjalanan tanah terjal, becek, dan bebatuan serta pohon-pohon, ranting, dan akar-akar liar mengiringi langkah kami 24 mahasiswa yang tanpa kami sadari semakin memasuki hutan, lebih dalam, dan hari pun semakin sore, pandangan semakin gelap. Kami masih optimis karena kami menemui beberapa tanda tali merah di pohon-pohon. Hingga sampai pukul 18.15, kami masih berada di hutan dengan jalan yang (menurutku) tidak biasa. Karena seharusnya kalau sudah obyek wisata, kenapa rasanya jalan yang kami lalui ini seakan-akan tidak ada jalan setapak dan terjalnya medan yang kami lalui ini kok rasanya terlalu susah bila dilewati oleh banyak orang.

Dan benar saja.

Mandor, selaku komando dari depan, mengumumkan bahwa kita harus kembali, tepat pada pukul 18.30 dimana pandangan kami sudah tidak bisa melihat tanpa bantuan senter. Akhirnya setelah mundur beberapa meter, kami memutuskan untuk berhenti di tanah yang lumayan datar. Ya, lumayan datar bila dibandingkan tanah lainnya yang terjal, namun tidak berlaku buat aku, Jemblunk, dan Mandor yang harus berjaga di tempat paling tinggi, paling terjal, dan kami hanya pegangan pada batang pohon, akar, dan bagian tumbuhan lain yang ada di sekitar kami.

Setelah duduk di tempat masing-masing yang sedikit terpisah, kami ber24 membagi makanan seadanya dengan rata, memutuskan untuk istirahat sebentar (reminder: SUASANA GELAP. Tidak kelihatan apapun tanpa bantuan senter). Setelah membagi makanan, kami berdiskusi tentang perjalanan ini; Mau lanjut, atau berhenti dan bermalam di tempat yang sedang kami pijak.

Dari kami semua, Bisri yang keukeuh untuk tetap di tempat dan bermalam. Tapi setelah diskusi panjang, dipimpin oleh Kopler, akhirnya kami memutuskan untuk lanjut demi menemukan jalan kembali. Barisan pun ditata menjadi satu baris, dengan dipimpin oleh Kopler dan Luqman, di belakang disusul barisan selang-seling cewek-cowok. Aku berada diantara Farras dan Lela yang bisa dikatakan berada di barisan tengah.

Berjalan sekitar puluhan meter, melewati medan yang lebih sulit lagi karena pandangan terbatas, kami menemukan tempat yang lumayan landai. Lagi-lagi, diskusi dihelat untuk menentukan apakah kami akan bermalam atau tidak, dan keputusannya masih lanjut jalan. Suara angin laut, rasi bintang, bahkan sampai aplikasi kompas dan GPS lewat HP Android punya Lela, Anita, dan punyaku sendiri sudah dikerahkan, tapi tetap saja kami tidak bisa menemukan jalan keluar. Setelah melalui pertimbangan lagi, akhirnya kami ber24 sepakat kembali ke tempat landai tadi untuk bermalam di hutan. Ya, bermalam di hutan.

Sampai di tempat landai tadi, kami meletakkan tas dan barang bawaan di bawah pohon besar, lalu mendirikan tenda dengan instruksi dari Kiki, dibantu penerangan lampu emergency mini dari Febray, dan setelah beberapa menit tenda pun berhasil didirikan. Mandor, Tatit, dan Kiki pun lanjut membuat dapur darurat untuk memenuhi kebutuhan bersama, memasak mie dan teh hangat.

Di sini, kami benar-benar merasakan nuansa kebersamaan yang tidak akan pernah kami temukan di kampus.
Karena sekarang kami sedang di hutan, tanpa tahu jalan keluar, dan kami hanya bisa menertawakan nasib kami sendiri.

Ini adalah foto dapur darurat, dipotret dengan Canon 600D menggunakan flash dan sedikit blur karena entah kesalahan aku yang motret atau...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar