"Baksoo, es degan!" ujar Lela.
Sepanjang perjalanan kami di hutan memang tidak ada abang tukang bakso lewat, karena itu wajar bila beberapa diantara kami (termasuk aku) merindukan bakso dan es degan. Kami sudah bosan dengan mie instan. Kami butuh PERUBAHAN!
oke, skip.
Aku berada di kloter kedua lagi saat bergantian naik perahu penyeberangan.
Gatau kenapa, berada di kloter kedua itu lebih menyenangkan buat aku. Aku jadi lebih bisa memperhatikan sekitar lebih lama. Menangkap pemandangan yang gak akan aku temukan di Surabaya maupun Tuban. Menikmati hembusan angin laut yang menenangkan. Apalagi kemarin habis nyasar di hutan. Berada di pantai seperti ini dengan situasi dimana aku pasti akan pulang benar-benar membuat perasaan lega dan senang bukan kepalang.
Sesampainya di seberang pulau Sempu, aku dan beberapa teman langsung menuju abang tukang bakso dan membeli semangkuk bakso hangat ditemani segelas es degan yang segar. Aku bersyukur, lidahku masih doyan makanan selain mie instan. Aku jadi teringat bagaimana rasanya terjebak di hutan, dimana uang dan harta benda lainnya menjadi tidak berguna kecuali bisa membantumu untuk bertahan hidup dan melawan kerasnya alam.
Gak ada abang tukang bakso lewat di hutan, bro.
Sekalipun ada, kamu butuh uang untuk membelinya, bro.
Kalau udah punya uang dan makan bakso di hutan, masih ada macan kumbang, ular, dan zombie, bro.
Setelah menikmati bakso dan beli cilok sebungkus, aku langsung menuju truk polisi yang sudah siap untuk berangkat pulang. Teman-teman yang di truk pada nggugupin untuk segera berkumpul, masuk truk dan pulang. Usut punya usut, ternyata pak sopirnya sedikit ngambek. Bagaimana tidak, kemarin kami ngasih uang 50.000 buat nginep di penginapan. Tapi ternyata biaya penginapannya itu 150.000.
Dafuq, men.
Akhirnya, meskipun sopirnya nggondok dan sudah pasti nanti nyupirnya agak ugal-ugalan, kami berangkat pulang juga.
Selamat tinggal, Sempu.
Semoga bertemu lagi lain waktu, tanpa nyasar di hutan lagi ya, huhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar