Twitter

Kamis, 21 Maret 2013

"Misi Menaklukkan Kawah Ijen" Chapter I : Sampai Berjumpa Lagi, Teluk Hijau!

Ahoy! Sorry telat ngelanjutin cerita, hehe.

so, sampe di mana ya kita kemarin-kemarin... *buka buka posting*

Jadi, ceritanya kami tim Commcamp 2 sedang dalam perjalanan kembali ke pos penjagaan dari Teluk Hijau. 

Well, perjalanan pulang ini tidak se-lelah berangkatnya sih. Yaa soalnya kami berangkat ndak tau seberapa jauh tujuannya, hehe. Sepanjang jalan pulang ini juga lebih melelahkan sih sebenernya.

Matahari lebih menyengat. Kami harus menapaki jalan kembali dengan sisa tenaga yang sebelumnya sudah hampir kami habiskan di Teluk Hijau. Well, awalnya sih kami semua berniat meninggalkan Teluk Hijau bersama-sama. Singkat cerita kami akhirnya terpisah-pisah lagi. Kelompok yang ngebet mandi dan ganti baju sudah jauh di depan. Dan itu cewek semua. Kecuali Reyhan, Dianto dan Kang Uman :|

Aku menapaki jalan pulang dengan Ayip, Bima, dan Rendy. Selama perjalanan pulang, kami sesekali berhenti untuk istirahat. Matahari siang dan medan yang berliku-liku benar-benar semakin terasa 'sensasi'-nya sekarang. Pfft.

Well, ujung-ujungnya aku berjalan sendiri menyusuri jalan pulang ketika sampai di perkampungan. -_-
Ini foto ketika Bima, Kecenk, dan Ayip meninggalkan aku di belakang -_-


Aku ketinggalan di belakang ini sebenernya juga gak rugi-rugi amat sih. Aku sendiri lagi pengen menikmati alam yang di sekitar bukit ini. Well, ini aku ada pemandangan yang sempet aku foto dari bukit,




Sampai di pos penjagaan, pasukan-pemberani-yang-ingin-mandi-yang-berangkat-lebih-dulu-tadi sudah ramai mengantri di kamar mandi. Yah, aku sendiri juga tidak memungkiri... Aku butuh mandi :|

Melelahkan, memang. Tapi itu semua sepadan dengan apa yang kami dapatkan di Teluk Hijau. Deru ombak yang segar, miniatur air terjun yang sejuk, serta pasir yang bersahabat membuat kami betah berlama-lama di sana. Aku sendiri masih tidak ikhlas meninggalkan Teluk Hijau yang mendamaikan ini.

Tapi, perjalanan masih panjang.

Kawah Ijen menanti di garis depan.

Sabtu, 09 Maret 2013

“Misi Menapaki Teluk Hijau” Chapter IX : Liburan Yang Sebenarnya


HUU YEAH!

TELUK HIJAU J



Ternyata jarak antara Teluk Batu dan Teluk Hijau itu cuman sejengkal dua jengkal doang!

Baru aja aku menapakkan kaki di jalan yang aku kira awalnya bakal masuk hutan lagi. Eh ternyata, aku cuman perlu ngelewatin semak-semak dikit untuk sampai ke Teluk Hijau!

Dan, aku setuju dengan katanya Sitha, "YOIKI LIBURAN TEMENAN", atau ini dia LIBURAN YANG SEBENARNYA, hehe.

Di sini, semua kepenatan dan kejenuhan yang dirasakan selama di perkuliahan dan perkotaan rasanya amblas semua! Kami sangat menikmati waktu berharga kami di sini.

Ada yang mancing ikan macem Jemblunk, sayang gak dapet, hahaha.

Ada yang menuju ke ujung teluk macem mas Bontang dan mas Ejak, disusul rombongan wanita commcampers.

Ada yang bikin istana pasir macem Bima, Elsa, Dianto dan aku. Meskipun harus menangis karena dihancurkan godzilla Gimon.

Ada yang mendirikan markas dan memulai masak-masak macem Mandor dkk.

Ada yang main di air terjun, main air di laut, dan akhirnya, gak di Sempu, gak di sini. Aku tetep jadi manusia pasir asusila yang dibikinin susu dan titit yang gede dari pasir dan kayu. Pfft.


Well, intinya di sini kami bersenang-senang dengan bahagia. Berasa Teluk Hijau ini cuma punya kami saja.

Aku, Sitha, Banjer, Elsa, Kang Uman, Ermeyta, dan beberapa temen lainnya akhirnya bermain air laut bersama. Gelombang ombak yang kadang meninggi itu bikin kami tertawa-tertawa sendiri ketika kami terkena air dan sensasi ‘tarikannya’. Sumpah, ini arusnya deres. Aku aja yang nekat ke tengah tipis-tipis, hampir tenggelam karena terbawa arus. Tapi untungnya aku berenang tepat pas arusnya mengarah ke sungai, akhirnya aku berhasil menyelamatkan diriku sendiri.

Tapi... akhirnya aku kenak batu karang. Punggungku lecet dikit. Yaweslah, maybe itu peringatan buat aku yang sok-sokan ngelawan arus. Padahal arusnya deres bangets, fyuh.


Setelah kami semua puas bermain dengan ombak, kami membersihkan diri di air terjun kecil yang bisa dijumpai di tempat yang agak menyudut di Teluk Hijau.

Oh meen, airnya tawar, dan ini SEGER PUOL. Hahaha.

Setelah membersihkan diri dari pasir dan asinnya air laut di sini, kami bergabung dengan teman-teman yang sudah menyiapkan tenda dan tempat masak-masak untuk mengisi perut sambil bersantai.

Well, aku ngerasa bersalah di sini. Aku baru numpahin susu coklat anget yang udah susah-susah dibuat sama temen-temen. Hiks.

Ada lagi yang seru di sini. Mas Gimon bikin minuman dari campuran nutrisari, air, dan alkohol. Yep, alkohol 70% -_-

Minuman ini ditujukan untuk monyet yang ternyata udah ngintipin aktivitas kami dari atas pohon. Karena dicurigai akan mengganggu, akhirnya Mas Gimon mbikinin minum racikan ini, and....

Voila!

Monyetnya sukses dibuat mabuk K

Setelah puas memabukkan seekor monyet dan kami juga sudah cukup mengisi tenaga, akhirnya sekitar jam 12an kami putuskan untuk kembali ke pos penjagaan.

Duh, sebenernya aku juga masih belum ikhlas ninggalin Teluk Hijau yang asri ini. Tapi ya mau gimana lagi, sebentar lagi kami semua akan menuju ke tujuan utama kami, yang tentunya kami juga harus menyiapkan tenaga lebih.

Kawah Ijen! We'll coming soon!

“Misi Menapaki Teluk Hijau” Chapter VIII : Teluk... Batu


TELUK BATU!

Ya ini, tetangganya Teluk Hijau.

Ternyata kami harus menapaki Teluk Batu ini dulu sebelum ke Teluk Hijau.

Di sini kami istirahat, dan ternyata barisan paling depan telah menunggu kami tim paling belakang di sini. Alhasil, akhirnya kami berkumpul dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Teluk Hijau.



Well, setelah beberapa saat memulihkan tenaga, akhirnya kami siap untuk pergi ke Teluk Hijau.

Di Teluk Batu ini ada aliran air tawar loh yang menuju ke laut. Aku sempatkan untuk minum airnya, dan memang airnya ini jernih banget. Oke, meskipun gak menutup kemungkinan airnya ada bekas be’ol atau pipis orang, tapi setidaknya ini bener-bener seger loh, hehe.

Well, setelah berekspektasi macam-macam, ternyata...
jalan ke Teluk Hijau tidak sesuai perkiraan.

“Misi Menapaki Teluk Hijau” Chapter VII : Perjuangan Mbak Hutami


“Bismillahirrahmanirrahim..”

Aku dan tim terakhir menapaki tangga bebatuan menuju Teluk Hijau. Mbak Hutami diduluin sih, dengan si Bima yang mengambil alih posisi terdepan. Well, awal yang sukses sih. Kami semua berhasil melewati tangga batu-batu itu.

Tapi kemudian...

“ADUH!”

Sambat-sambatan pun bersahut-sahutan. Yak, jalanan yang kami lewati tak semulus paha cherrybelle.

Sebelah kiri kami langsung tanjakan menurun yang sangat terjal. Sedang sebelah kanan adalah tanah tanjakan naik. Ya intinya posisi kami lagi miring 45 derajat gitu dah. Dan jalan setapaknya ini dipaksakan datar diantara kemiringan itu.

Ditambah dengan tanah yang becek dan tumbuhan liar yang kadang menutupi jalan, lengkap sudah petualangan menjelajahi hutan ini.

Sesekali kami berhenti, sembari menunggu Mbak Hutami menuruni jalanan yang ekstrim, dan kadang juga kami sendiri kesusahan dalam menapaki jalan-jalan itu. FYI, Mbak Hutami ini bobotnya juga ekstrim. Jadi suatu kehebatan tersendirilah ketika melihat Mbak Hutami berjuang menaklukkan medan-medan berat.

Bima yang berada di depan selalu stand by juga buat ngulurin tangan kalo butuh bantuan. Sedang Mas Gimon selalu di belakang untuk memastikan semua aman-aman saja.

Well, perjuangan Mbak Hutami memang tidak mudah. Dan ditambah sepanjang perjalanan, jalan setapaknya juga sering PHP. Kadang terjal, kadang datar, kadang naik, kadang turun, dan seringkali membuat kami berpikir kalo pantai udah dekat. Dan dekat sih dekat sama pantai, tapi itu di bawah banget, dan itu bukan Teluk Hijau yang kami tuju.


--foto dari kamera Ayip: salah satu pemandangan yang bisa dilihat dari samping, kalo jatuh bisa langsung ke pantai beroooh....--

Kira-kira perjalanan di hutan bukit ini hampir sejam kali ya. Pokoknya luama beuds deuh.

Dan akhirnya, suara ombak membesar, ada aliran sungai yang terlewati... dan ternyata kami sampai!

Tapi...

Jumat, 08 Maret 2013

“Misi Menapaki Teluk Hijau” Chapter VI : The Adventure Begins


Oke. Semalam kita udah ngomongin soal Goa Jepang dan pantai tengah malam. Jadi langsung aja loncat ke pagi. *kucek-kucek mata*

“Hoaahh...” aku baru bangun, dan ternyata seisi pos penjagaan sudah ribet sana-sini nyiapin sarapan dan packing dikit buat berangkat ke Teluk Hijau. Mandor, Kikik dan divisi perdapuran sudah menyiapkan mie, nasi, dan sarden buat sarapan. Yah, 11 12 sama menu semalem lah. Yang jelas paginya kami sarapan dan bersiap buat berangkat!



Aku, seperti biasa jadi juru dokumentasi. Tapi buat kali ini aku gak mau ambil ribet. Pokoknya yang ada di deketku ya itu yang sering masuk kamera, hehe.

Jadi kami dibagi kelompok-kelompok kecil sebelum berangkat. Tapi kayaknya pembagian ini gak mempan buat Jemblunk dan Kikik yang sebenernya udah diatur jadi satu kelompok *ups*

Oke, misi perjodohan gagal. Wes pokoke budal lah.

Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi, nek gak salah.

Kami pun berangkat membentuk barisan. Awalnya sih rapi, tapi lama-lama barisannya pecah juga.



Di jalan kami menjumpai jalanan becek dengan kolam lokal, lagi. Selain itu sebelum menempuh jalanan hutan, kami harus melewati perkampungan warga dulu. Kanan kiri kami lihat warga yang sudah sibuk dengan aktivitas pagi hari. Tak jarang ada juga anak-anak sekolah yang siap berangkat menuju SD yang ada di kampung itu.

“Kayaknya kita kalo KKN ya di tempat kayak gini ini ya.” ujarku yang kemudian diamini Ayip, yang kebetulan jadi rekan sekelompokku.

Di depan aku lihat ada bukit besar membentang. “Kayaknya mesti ngelewatin bukit ini dulu deh” gumamku dalam hati. Dan benar saja, kami berjalan terus, dan nggak kerasa sampai di kaki bukit yang kemudian jalannya jadi naik turun dari sini.

Well, kalo mbaca dari tulisan ini kayaknya nggak begitu jauh ya. Tapi kalo kamu jalanin sendiri, weh, sumpah, JAUH. Disaranin pakek sepatu yang tahan pelesetan dan anti batu grunjalan.

Akhirnya seperempat perjalanan, kami sudah lumayan berkeringat.

Kami sampai di persimpangan Goa Jepang, Habitat Rafflesia dan jalan ke Teluk Hijau.

Well, kami nyempetin foto-foto dikit sambil nungguin barisan belakang. Dan setelah mbak Hutami dkk nyampek persimpangan, kami lanjut mengambil jalan ke Teluk Hijau.

Selama perjalanan, sesekali aku melihat kanan-kiri. Yang paling aku suka adalah ketika melihat sebelah bukit yang langsung bisa kelihatan pantai yang semalam aku jamah dengan Bima dan Elsa. Rasanya masih pengen semalam lagi duduk di pantai itu dan menikmati suara ombaknya. Hehe.

Okey, jadi kami jalan, jalan, jalan, berhenti! Kami sampai di...istilahnya sih, ‘entrance’ sebelum ke jalan hutan-hutan.

Ada tangga buatan dari batu, di hadapan kami. Well, di sini keringat kami sudah lumayan sih. Dan ini belum sampai setengah perjalanan. Mungkin 7/21 kali yak.

Kami rehat sebentar, dan sambil nungguin barisan belakang juga.

Selang beberapa menit, akhirnya beberapa dari kami memutuskan untuk berangkat duluan. Sampai akhirnya yang tersisa tinggal aku, Bima dan Elsa lagi yang angkatan 2011. Dan akhirnya kami bergabung dengan tim Mas Gimon, Mas Eces, Mbak Hutami, dan Makrom.

Setelah tenaga kami sudah 8/10 pulih, kami akhirnya memberangkatkan diri menuju tangga bebatuan yang kami percayai sudah dekat dengan Teluk Hijau itu.

“Misi Menapaki Teluk Hijau” Chapter V : Goa Jepang


Goa Jepang, adalah salah satu objek wisata tersembunyi yang bisa dijumpai di tengah perjalanan ke Teluk Hijau. Dan gak tau kenapa pas aku, Bima, dan Elsa kembali ke pos penjagaan dengan selamat, Goa Jepang ini lagi jadi trending topic guyonannya temen-temen. Dan itu membuatku sedikit penasaran tentang goa ini.

Well, meskipun begitu, pas kita ngelewatin persimpangan antara Goa Jepang dan jalan ke Teluk Hijau, kami milih skip dan lanjut ke jalan Teluk Hijau.

Jadi ceritanya aku, Bima, dan Elsa sampai di pos jam setengah satu malam. Di situ semuanya masih banyak yang belum tidur. Malahan Mandor, Jemblunk, Tatit, Mas Gimon, Kang Uman, Banjer, Makrom, dan 
Kecenk masih main kartu di teras dan ruang tengah. Dan kontan saja aku dan Bima yang baru datang langsung disoraki... gay. Oh, meen.

No offense, by the way.

But I’m not a gay -_-



Anyway, aku males mikirin macem-macem soal goa Jepang. Jadi aku langsung aja tidur. Meskipun sempet juga kebangun gara-gara guyonannya temen-temen, dan posisi tidur yang lucu oleh Ayip dan Dianto, hahahaha.

Sayangnya yang motret posisi tidur absurd itu bukan aku. Pfft.

Rehat + Ralat

Sorry, kemarin postingnya baru sampai hari pertama Commcamp Jilid dua, hehe.

Pegel beroh ngetik sampek lebih dari 2.500 kata, belum upload dan ngecapture gambar dari video
*curcol



Oke, jadi hari ini kayaknya aku bakal posting cerita hari kedua Commcamp. Dan ada ralat sih soal penjudulan. Jadi yang seri kemarin pake judul "Misi Menaklukkan Kawah Ijen" aku judulin ulang jadi "Hari Keberangkatan" dengan dua chapter, dan "Misi Menapaki Teluk Hijau" yang masih beberapa chapter lagi, hehe.

yawes,
Stay tune berooh ~

Hambar.


Sore ini aku habiskan dengan mengetik cerita tentang Commcamp jilid dua yang sudah berlalu sejak tanggal 20 Februari Kemarin. Rasanya, aku kembali bersemangat, seperti ketika mau berangkat ngecamp saat itu. Hehe.

Tapi ada sedikit yang hambar.

Ya, aku menulis cerita tentang Commcamp ini pada hari ini, Jumat 8 Maret 2013, tepat setelah beberapa hari lalu aku ada masalah kecil di kampus yang membuatku ada di rumahku hari ini.

Well, harusnya aku menulis kisah Commcamp ini dari dulu, tanpa harus berselang beberapa minggu.

Sekarang rasanya aku hanya sedang mencoba memeras ingatan. Dan sekenanya mencoba menghidupkan kembali cerita yang berkesan itu.

Satu-satunya yang masih sangat menempel di otakku adalah malam ketika aku, Bima, dan Elsa, duduk dihadapan ombak yang berderu keras, dan saat itu juga rasanya nyawaku ikut melayang ke hamparan lautan. Di situ, aku menemukan damai yang aku cari.

Tapi ya apa boleh buat, waktu dan angin tidak bersahabat. Aku harus segera pergi tengah malam itu sebelum ombak dan kegelapan menelanku.

Suatu saat aku ingin menemukan kembali kedamaian itu.

Suatu saat nanti.

“Misi Menapaki Teluk Hijau” Chapter IV : “Damai... Yoiki Seng Jenenge Damai.”


Aku berjalan di belakang Bima dan Elsa, karena aku yang membawa senter di kepala. Otomatis aku lah yang jadi juru penerang jalan mereka, halah.

Jalan yang kami tempuh ternyata dipenuhi kolam-kolam lokal. Lengkap dengan bebatuan yang sangar-sangar grunjalannya.

Sepanjang jalan, kami bercerita absurd tentang kuliah dan hal-hal imajiner. Hingga akhirnya kami menjumpai gapura yang sama ketika kami pertama kali sampai di sini dengan bis. Oh meen, suara ombaknya cetar to the max. Kami lihat ke samping, dan ternyata memang ini pantai!

Kami pun bersemangat jalan kaki menuju pantai.

Tuhan, tempat ini benar-benar lapang. Langit kelihatan semakin meluas dengan gemerlapan bintang-bintang yang bertaburan di atas. Pantainya juga seperti hamparan pasir yang damai, tiada seorang pun di sana. Kami bertiga hanya menyaksikan ombak melambai-lambai, dan kepiting-kepiting kecil berkeliaran di sekitar kami.

Akhirnya, kami pun duduk menghadap ombak, dan lampu senter pun aku matikan.


--lukisan pake Paint, dari kiri: Elsa, Bima, dan aku. Suasana remang-remang. Tapi laut dan langit keliatan jelas--

“Damai... Yoiki seng jenenge damai...” dalam hati aku mengucap syukur kepada yang Maha Kuasa, rasanya aku memang dibimbing sampai ke tempat ini. Pantai ini sebetulnya biasa. Tetapi entah saat malam itu, aku merasakan keindahan dalam sunyi dan gelap yang tidak pernah aku lihat dan rasakan sebelumnya.

Sepanjang malam itu, aku, Elsa, dan Bima bercerita tentang hal-hal absurd dan bermain dengan imajinasi kami masing-masing. Topiknya tetap, tentang kuliah. Tapi kami juga membicarakan tentang pertemanan dan hal absurd seperti perasaan. Kadang juga curcol dikit, dan dilanjut dengan membicarakan imajinasi masing-masing tentang berbagai hal.

Aku lupa tepatnya kami ngomongin apaan, yang jelas saat itu yang aku rasakan cuman damai, dengan suara ombak yang membahana di telinga kanan kiri.

Jam menunjukkan pukul 12 tengah malam.

Kami bertiga pun kembali ke pos penjagaan.

“Misi Menapaki Teluk Hijau” Chapter III : “Kita Nggak Akan Ambil Resiko.”


Sampai di pos penjagaan itu ternyata bukan berarti kami sudah dekat dengan Teluk Hijau.

Kata penjaganya, kami harus berjalan sekitar satu jam lebih menyusuri hutan agar sampai ke teluk yang airnya berwarna ijo itu.

Kami pun dilema. Antara mau nekat tetap lanjut jalan kaki dengan harapan kemping di Teluk Hijau, atau menuruti apa kata penjaga dengan menetap semalam di pos penjagaan dan jalan kaki pagi-pagi untuk sampai ke Teluk Hijau.

Diskusi yang panjang antara Mas Gimon, Mandor, Tatit, Banjer, dan Pak Penjaga pun tetap menghasilkan dua opsi yang sama: lanjut atau berhenti sementara.

“Kita nggak akan ambil resiko. Jalan yang kita tempuh masih jauh. Selain itu temen-temen kita yang cewek juga banyak. Aku sih budal tok. Tapi kalo jumlah kita yang banyak ini dipacul tetep jalan, resikonya terlalu besar.” ujar Mas Gimon ke semuanya.

Aku dalam hati sih tetap ingin nekat malam-malam menuju Teluk Hijau.

Tetapi, akhirnya setelah berpikir bersama sejenak, kami memutuskan untuk bermalam di pos penjagaan. 
Meskipun akhirnya kurang berkesan ‘ngecamp’ di hari pertama, tapi ya sudahlah, salah kami, terutama Banjer juga. Pakek nyasar segala. Pfft.

Akhirnya kami meletakkan barang-barang di pos penjagaan. Hampir sebagian dari kami menyempatkan untuk mandi. Tapi kalo aku sih ya meskipun bermalam di rumah, badan tetep ngecamp mode on: ANTI MANDI. Hahaha.

Dengan sedikit bau badan yang tidak menyengat, aku membantu teman-teman yang sudah bersemangat memasak di dapur. Tetap dengan komando Mandor, semuanya berhasil memasak nasi, sarden kalengan, dan mie untuk semua orang di sana, termasuk supir dan pak penjaga.

Demi menghidupkan suasana, kami yang di sana pun bersenda gurau, bermain kartu, dan ada yang tidur lebih awal. Si Banjer selaku warga sekitar juga berusaha bersosialisasi dengan pak Penjaga. Sedikit-sedikit terdengar kisah horor tentang adanya pasangan yang mesum yang lari pontang-panting dari sini karena melihat ‘sesuatu.’ Ada juga yang masih nggak percaya kalo kebo-nyante-dipinggir-pante itu tadi adalah nyata, bukan iblis atau jin semacamnya.

Aku yang sedikit kecewa dengan bermalam di pos penjagaan, berencana untuk berkespedisi sendiri dengan jalan-jalan malam, sendirian. Well, tapi akhirnya ada yang sepikiran. Bima, si Watu yang juga survivor commcamp 1 akhirnya jadi teman jalan malam. Selain itu, ada juga Elsa, commcampers baru yang ternyata sense of adventure-nya juga tinggi.

Akhirnya, kami bertiga memutuskan untuk keluar dari pos penjagaan dan berjalan ke tempat yang kami sendiri tidak tahu mau ke mana.


--foto: tangan Kang Uman membredel kaleng sarden yang nahas di dapur--

“Misi Menapaki Teluk Hijau” Chapter II : “Kabut Akan Segera Turun, Jangan Nekat...”


Kami menemukan jalan yang maybe benar. Tetapi, jam telah menunjukkan pukul 17.00, nek gak salah.

Dan kami pun memutuskan untuk berhenti sejenak di dekat toko warga sekitar dan bertanya tentang jalan ke Teluk Hijau.

“Kabut akan segera turun, jangan nekat...” samar-samar aku dengar ucapan itu dari salah satu warga. 

Memang sih, dari sini aja uda keliatan di depan kalo kabut dari bukit itu lagi otewe turun ke kampung. Akan tetapi, bukan commcampers namanya kalo nggak nekat. Setelah berdiskusi singkat, kami memutuskan untuk tetap lanjut menuju Teluk Hijau. Atau setidaknya sampai di pos penjagaannya lah.

Jalanan semakin gelap. Kami yang di bus berpelukan. Yo gak lah.

Sepanjang perjalanan yang diiringi langit yang semakin gelap, beberapa diantara kami masih ada yang bercanda untuk mencairkan ketegangan. Ada juga yang berdoa dengan sisa-sisa keimanan yang ada. Dan akhirnya kami melihat gapura, serta deburan suara ombak yang membahana.

Oh God, sepertinya jalan terang sudah di depan.

Kami melewati jalanan bebatuan yang membuat elep sampai kegembosan ban belakang. Well, guyonannya sih itu gara-gara mbak Hutami yang duduk di bangku sebelah kanan elep. Tapi ya rasional ajalah, itu gara-gara bebatuan yang kasarnya gak suopan...ditambah bobot mbak Hutami juga #eh

Oke, kita nemuin suatu padang rumput yang luas. Dengan kegelapan yang menyelimuti, kami, ya, kami semua, melihat ada siluet kerbau makan rumput. Ya, KERBAU. *jeng jeng*

Maybe konyol. Emang itu padang rumput. Tapi NGAPAIN KEBO DI DEKET PANTE??
Itu mungkin yang ada di benak temen-temen yang paranoid melihat kebo-nyante-dipinggir-pante.

Oke, singkat cerita, kita akhirnya sampai di pos penjagaan Teluk Hijau.

Aku sudah mencium bau petualangan di sini.

Jam menunjukkan sudah lewat maghrib. Dan kami semua menurunkan barang-barang kami di pos ini. 

Rencananya bis dan elep ditinggal di pos, dan kami jalan kaki menuju teluk hijau. Dan rencananya sih aku uda mbayangin kita semua bakal menyusur hutan malam-malam dan kemping di pantai sampai pagi.

Tapi semua tidak seindah yang dibayangkan...


--foto: Banjer sedang berkonsolidasi dengan Pak Penjaga, situasi sudah aman terkendali saat itu--

“Misi Menapaki Teluk Hijau” Chapter I : “Njeeer Banjer...”


Hari sudah sore. Jalan yang kami tempuh lambat laun menyempit, menggerunjal, dan semakin mencurigakan. 

Pak supir bis semakin bersambat-ria dengan kernet. Kami sudah memasuki jalanan desa. Tetapi jalan yang kami ambil ini tidak seperti katanya orang-orang. Jare supir bis seh. Katanya jalan menuju Teluk Hijau udah bagus, lah yang dipijak ban bis sekarang jauh sekali dari kata bagus.

Mungkin kalo ada orang hamil di sini bisa ngelahirin kali ya. But wait, kami semua masih mahasiswa dan boro-boro ada yang hamil, pasangan aja belom. *skip*

Kami semua yang di bis masih percaya dengan insting si Rendy Banjer yang jadi tour guide karbitan kami menuju Teluk Hijau. Dan akhirnya...

VOILA!

Jembatan kayu di depan mata.

“Njeeeer banjer.....” ucap sejumlah orang ketika bis berhenti dan supir bis tak henti-hentinya berdongkol ria setelah mendapati ternyata yang di depan mata bukan lah jalan beraspal, tetapi hanya seonggok jembatan kayu yang sungguh sangat tidak bisa dibayangkan ketika seekor bis melintas di atasnya.

Awalnya kita masih menyisir jalanan desa itu. Hingga akhirnya jalanan semakin terbuka, dan kami mendapati hamparan sawah yang luas di sekitar kami. Pandangan kami tak ada yang bisa mencapai beberapa kilo di depan. Sehingga dengan sedikit percaya diri, bis dan elep pun tetap melaju ke depan. Aaaaaaanndd it’s dead end.

Untung saja meskipun di sawah-sawah gitu, ada rumah warga sekitar dengan halaman luas yang bisa dipake bis buat muter balik. Yo masio supire kudu usaha jalano bise mundur sih. Tapi akhirnya kami sukses puter balik, dan dengan pikiran yang logis kami kembali ke jalan yang sekiranya benar.

Pembelaan dari Banjer: “Mbiyen aku rene numpak sepeda motor, dadi yo sak erohku liwat kene (jembatan kayu).”

Cursed you, NJEERRR BANJER.


“Hari Keberangkatan” Chapter II : “Budal Tok Es!”


Hari ini Senin 18 Februari 2013 ; Setelah disibukkan titah Mandor kemarin sore dan pagi-pagi jadi kuli, akhirnya waktu keberangkatan pun tiba. Meskipun sedikit terhambat dengan saling tunggu-menunggu, dengan mengucap mantra “Budal tok es!” kami pun berangkat dengan lancar senang dan bahagia pada pukul 07:00 tipis-tipis.

Aku duduk di depan. Pengen lihat jalanan dari kaca depan bus yang sensasinya kayak nonton tipi ratusan inch. Seisi bus ini pun bercanda dan tertawa sampai pulas. Kadang ada pembicaraan tentang matkul, KRS, dan mripit-mripit kuliah. Tapi nggak sampe sejam, seisi bus uda memejamkan mata, kecuali pak Sopir dan kernet lah, blok.

Eniwei, kita berangkatnya ini pake dua kendaraan. Satunya bis gede, satunya mobil gede, I mean, elep, ehem, ELF.

Karena aku taunya cuman yang di bis, ya sorry deh aku ga bisa nyeritain gimana situasi dan kondisi rekan-rekan yang ada di elep. Pokoknya keliatannya semua senang deh.


--foto: suasana foto bersama yang sedikit maksa--

Setelah melewati jalanan yang ramai, meliuk-liuk, naik turun, mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir indah ke samudra, akhirnya kita sampai di Banyuwangi!

Jam menunjukkan pukul 13.00, nek gak salah.

Kalo bukan karena trio kwek-kwek hoax macem Kang Uman, Jemblunk, dan Tatit, pasti bis ini nggak sore-sore amat nyampek di check point Teluk Hijau. Mereka berangkat dari Situbondo. Dengan berlinang kisah tentang kebohongan tarif si supir angkot yang mengantar mereka sampai di terminal bis, yah singkat cerita pokoknya mereka uda sampai di bis lah. Kami akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Teluk Hijau.

Meskipun jalan yang ditempuh mencurigakan dan disambati terus sama bapak supir bis, kami tetap melaju dan percaya bahwa jalan yang kami tempuh ini baik-baik saja.

“Hari Keberangkatan” Chapter I : Kepepet Sompret!


Minggu, 17 Februari 2013 ; Aku baru aja touch down Surabaya. Habis liburan di Jakarta bentar. Dan ini pertama kalinya aku naik pesawat loooh (bangga, yang baca harus bilang WOW). *skip*

Aku diantar keluarga ku sampai di kos. Baru aja buka kamar, nggak sempet nata-nata tas dan seisinya, aku langsung buruan cus ke kampus. Si Mandor sedikit nggugupi, duitku buat COMMCAMP #2 ini belum lunas sih, hehe.

Dan ternyata emang COMMCAMP #2 kali ini terkendala sedikit masalah. Banyak yang mengundurkan diri. Jumlahnya nggak nanggung-nanggung, dari 35-an orang turun jadi 28 orang. Padahal Mandor dkk sudah mempersiapkan semuanya untuk 35 orang, dan itu belum lunas sih. Tetapi berkat kucuran bantuan dana dari bapak pembina Tatit, semua masih bisa berjalan sesuai rencana.

Aku dan temen-temen yang ada di KBU berusaha keras mencari orang untuk menutupi kuota 35 orang itu. Bahkan sampek banting harga jadi 50.000 doang, masih juga kagak ada yang minat buat ikut. Ah, ada aja alasannya buat gak ikut. Mulai dari ijin orang tua, sibuk jadwal sana-sini, males, dan bela-belain liburan ngerjain tugas. Oke, alasan terakhir itu fiktif. Lanjut.

Nggak cukup sampe disitu. Perjuangan belum berakhir, halah.

Dengan waktu yang udah mepet, Mandor memberiku titah untuk mencetak banner, beli parafin, dan merampas senter emergency si Febray, salah satu survivor Commcamp #1 yang sangat membantu divisi penerangan dengan mensuplai lampu emergency ketika tersesat di hutan Sempu. Nggak itu doang sih, beberapa perlengkapan Commcamp juga dititipin di kosku.

Oke, soal rampas merampas aku jago sih. Pokoknya itu bereslah. Tinggal modus ngapel ke kosan Febray, ambil senter, pamitan, selesai.

Nah, cetak banner ini... YAOPO?

Aku melanglangbuana ke sana-sini, percetakan pada tutup. Ke I Can Print Ngagel yang jadi andalanku soal urusan cetak-cetakan gini, ternyata berhenti mencari rizki di hari Minggu. Eh, di ITS ketemu percetakan 24 jam. Tapi sekalinya maksa si Mbak kasir buat nyetakin banner dalam kurun waktu 6 jam, aku pun ditolak mentah-mentah dan diusir dari kerajaan percetakan 24 jam itu, halah.

Oke, banner udah hopeless. Sekarang soal sabun ajaib yang bisa buat bakar-bakar, yaitu parafin.

Nyari benda satu ini aku nggak ada ide sama sekali. Pengen gitu berhenti di apotik dan nanyak mbaknya punya parafin apa gak, tapi aku urungkan karena sepertinya itu adalah tindakan bodoh bin absurd. Mana ada apotik yang nyedian sabun bakar macam parafin? Mana ada pula orang yang nyebut parafin itu sabun bakar kecuali aku? Oke, skip.

Ku telpon Mandor, dan aku jelaskan semuanya mengenai gagalnnya pelaksanaan dua titahnya soal banner dan parafin. Well, akhirnya Raja Mandor pun memaklumi kegagalanku, dan tinggallah senter emergency punya Febray doang yang bisa diharapkan dari aku. Oh, meen. Melankolisnya diriku.

Oke, curcolnya selesai. Lanjut curcol lagi *eh

Malam ini adalah malam terakhir sebelum pemberangkatan, halah.

Si Sompret dari Riau, Reyhan, rencananya mau nginep di kosan sih. Dan akhirnya doi betulan nginep sini. Terus? Yawes, kami berdua tidur sekamar dengan normal-normal saja. Skip.

Well, adanya si Sompret ini di kos ya lumayan juga sih, jadi bikin suasana kos sedikit ramai dan bisa jadi teman yang saling mengingatkan soal sholat dan nyiapin barang bawaan. Selain itu, lumayan lah, paginya ada yang mbantuin buat angkat-angkat barang perlengkapan kemping yang terdiri dari beberapa dus dan terpal ini. Sayangnya, sekali sompret tetaplah sompret. Sampai di gerbang masuk Unair, eeh si Sompret kebelet BAB dan akhirnya doi harus menunaikan nafsu kemulesannya di masjid Unair. Tinggallah diriku dengan sisa-sisa tenagaku, menyeret semua barang ke KBU yang jaraknya masih lumayan lah kalo jalan kaki. Pfft.

And you know what?

Kamar mandi FISIP ternyata pagi-pagi udah buka.

HOLY SHIT.


Soooompreeeeeet kuuudaaaa

COMMCAMP #2: Misi Menaklukkan Kawah Ijen | PROLOGUE


Rasanya udah beberapa bulan kelewat semenjak COMMCAMP #1 selesai. Kali ini di liburan semester 3, beberapa pionir COMMCAMP 1 seperti Mandor, Kikik, dan Tatit berencana menggelar jilid kedua dari event kemping yang seru ini. Ya, seru, PUOL. Nggak ada yang bisa nggantiin cerita serunya para commcampers jilid satu yang tersesat di Pulau Sempu. Dan akhirnya, destinasi COMMCAMP jilid dua kali ini sudah fix, yaitu KAWAH IJEN!

Well, aslinya udah ada wacana mau ke Ranu Kumbolo dan bahkan ke Puncak Semeru buat jilid dua ini. Tapi karena Februari 2013 ini jalur ke Semeru ditutup, akhirnya Kawah Ijen pun dipilih sebagai alternatif tujuan utamanya. Meskipun nggak jadi ke Semeru, cerita di Kawah Ijen ini seru juga loh. Dan kali ini nggak ada yang namanya feeling nyasar-karena-nekat atau merinding-disko-digigit-macan-hutan lagi. Sempet nyasar dikit, tapi nggak se-SERU pas di Sempu kok. Hahaha. Lagian kali ini tujuannya nggak cuma Kawah Ijen. Ada Teluk Hijau dan Pulau Merah juga yang siap ditaklukkan! Haha!

Oh iya, satu lagi. Yang disayangkan dari jilid dua ini, para survivors dari Sempu yang bertahan lanjut ke jilid dua cuman tujuh orang: Mandor, Kikik, Tatit, Bima, Jemblunk, Ayip, dan aku! Dan COMMCAMP kali ini bakal diketuai oleh Rendy ‘Banjer’ selaku warga sekitar di Banyuwangi.

Overall, jumlah peserta kali ini lumayan loh, sampek 27 orang dan ini terdiri dari 4 angkatan: 2009-2012. Beda dengan jilid satu dulu. 24 orang, dan itu cuma angkatan 2011 doang sih.

Akankah para COMMCAMPERS jilid dua ini bisa sampai di Ijen dengan selamat?

Akankah setelah sampai di Ijen bisa pulang lagi dengan selamat?

Akankah setelah pulang di Surabaya bisa kembali ke rumah dengan selamat?

Yawes, masio cerito iki diketik nggawe sudut pandang orang yang tak dianggap (aku, btw) wocoen terus ceritone nek pengen ngerti yo!

Salam Commcampers!


Rabu, 06 Maret 2013

Foto: I'm Flying!






Oke, agak ndeso bin kampung dikit kali ya.
Tapi ini pengalaman pertama naik pesawat sih, dan berhasil mengambil beberapa gambar menggunakan 650D-ku ketika pesawat sedang melangit.
Aku terbang ke Jakarta, saat itu. Lagi pengen main ke rumah Fais, Upan, Naufal, sodara-sodara yang biasanya ketemunya cuman pas Idul Fitri doang.
Jadi, hari Rabu tanggal 13 Februari 2013 saat itu, aku ke Jakarta naik pesawat, jalan-jalan di Jakarta sampai ke museum sejarah dan kota tua, ngerasain riwehnya busway, dan sibuknya ibukota.
Tapi perjalanan liburan belum selesai.
Minggu 17 Februari 2013 aku balik ke Surabaya, ikut ngurusin Commcamp sedikit di kampus, packing malamnya bersama si Sompret Reyhan...

Aaaaaaand, Senin 18 Februari adventure begins! :)
(to be continued)

Foto: Mengawah Ijen



Location Kawah, Kawah Ijen, Banyuwangi
Date Taken 20/02/2013 05:47
Camera Canon EOS 650D
F-stop f/3.5
Exposure Time 1/500 sec.
ISO 400
Focal Length 18mm

Ilusi

Raga terduduk ramai,
Sedang firasat pecah terbengkalai,

Langit senja yang dirundung kabut,
Terkesiap mata menusuk lembut,
Resah, diam tak terarah,
Menilik celah memendam merah,

Bercengkerama dengan malam yang menghitam,
Di ujung jalan yang bertahta pelataran,
Kanan ku lihat tatanan,
Kiri ku rasa terpatri,

Ilusi! Tiap ranting jalanan menjadi saksi,
Ilusi! Tiap udara yang terlewat memucat pasi,

Hening dalam keriangan,
Ilusi dari sepi yang terbujuk angan,

Lelah, sudahi segala pembicaraan.



Pos Penjagaan Teluk Hijau, Banyuwangi
18 Februari 2013



foto: area persawahan dekat pos penjagaan, sore hari, 18 Februari 2013

Resep Bungkam

Pernah merasa kalah dalam pembicaraan?
Pernah mengalah dalam hal bercandaan?
Pernah mengesampingkan diri demi melihat tawa-tawa yang lebar?
Pernah berdiam, memperhatikan, dan tetap dipersalahkan?
Pernah menumpuk tanah dan dirusak, diluluhlantakkan sampai rata kembali?

Renungkan dan resapi rasanya.

Campur aduk jadi satu.
Seduh dengan air hangat dari mata 10 mL.
Aduk kembali di atas loyang hati.
Diamkan sejenak, letakkan di ruang hujan yang bebas sinar matahari.

Jika adonan sudah mengembang, kubur dalam-dalam.

Silahkan diinterpretasi!


Kosong, Selongsong

Halo, blog. Lama tak jumpa. *ambil penyedot debu*

Memang ya, kalo punya blog dan lama nggak nulis lagi itu rasanya kayak kenak cultural shock. Yang tadinya banyak banget yang mau ditulis, merosot jadi nggak tau mau nulis apa. Jadinya yang di otak cuma kosong, padahal cerita yang menunggu untuk ditulis itu isinya lebih dari peluru selongsong.

Well, so where should I start?