Aku berjalan di belakang Bima dan Elsa, karena aku yang
membawa senter di kepala. Otomatis aku lah yang jadi juru penerang jalan
mereka, halah.
Jalan yang kami tempuh ternyata dipenuhi kolam-kolam lokal.
Lengkap dengan bebatuan yang sangar-sangar grunjalannya.
Sepanjang jalan, kami bercerita absurd tentang kuliah dan
hal-hal imajiner. Hingga akhirnya kami menjumpai gapura yang sama ketika kami
pertama kali sampai di sini dengan bis. Oh meen, suara ombaknya cetar to the
max. Kami lihat ke samping, dan ternyata memang ini pantai!
Kami pun bersemangat jalan kaki menuju pantai.
Tuhan, tempat ini benar-benar lapang. Langit kelihatan
semakin meluas dengan gemerlapan bintang-bintang yang bertaburan di atas.
Pantainya juga seperti hamparan pasir yang damai, tiada seorang pun di sana.
Kami bertiga hanya menyaksikan ombak melambai-lambai, dan kepiting-kepiting
kecil berkeliaran di sekitar kami.
Akhirnya, kami pun duduk menghadap ombak, dan lampu senter
pun aku matikan.
--lukisan pake Paint, dari kiri: Elsa, Bima, dan aku. Suasana remang-remang. Tapi laut dan langit keliatan jelas--
“Damai... Yoiki seng jenenge damai...” dalam hati aku
mengucap syukur kepada yang Maha Kuasa, rasanya aku memang dibimbing sampai ke
tempat ini. Pantai ini sebetulnya biasa. Tetapi entah saat malam itu, aku
merasakan keindahan dalam sunyi dan gelap yang tidak pernah aku lihat dan
rasakan sebelumnya.
Sepanjang malam itu, aku, Elsa, dan Bima bercerita tentang
hal-hal absurd dan bermain dengan imajinasi kami masing-masing. Topiknya tetap,
tentang kuliah. Tapi kami juga membicarakan tentang pertemanan dan hal absurd
seperti perasaan. Kadang juga curcol dikit, dan dilanjut dengan membicarakan
imajinasi masing-masing tentang berbagai hal.
Aku lupa tepatnya kami ngomongin apaan, yang jelas saat itu
yang aku rasakan cuman damai, dengan suara ombak yang membahana di telinga
kanan kiri.
Jam menunjukkan pukul 12 tengah malam.
Kami bertiga pun kembali ke pos penjagaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar