Hari sudah sore. Jalan yang kami tempuh lambat laun
menyempit, menggerunjal, dan semakin mencurigakan.
Pak supir bis semakin
bersambat-ria dengan kernet. Kami sudah memasuki jalanan desa. Tetapi jalan
yang kami ambil ini tidak seperti katanya orang-orang. Jare supir bis seh.
Katanya jalan menuju Teluk Hijau udah bagus, lah yang dipijak ban bis sekarang
jauh sekali dari kata bagus.
Mungkin kalo ada orang hamil di sini bisa ngelahirin kali
ya. But wait, kami semua masih mahasiswa dan boro-boro ada yang hamil, pasangan
aja belom. *skip*
Kami semua yang di bis masih percaya dengan insting si Rendy
Banjer yang jadi tour guide karbitan kami menuju Teluk Hijau. Dan akhirnya...
VOILA!
Jembatan kayu di depan mata.
“Njeeeer banjer.....” ucap sejumlah orang ketika bis
berhenti dan supir bis tak henti-hentinya berdongkol ria setelah mendapati
ternyata yang di depan mata bukan lah jalan beraspal, tetapi hanya seonggok
jembatan kayu yang sungguh sangat tidak bisa dibayangkan ketika seekor bis
melintas di atasnya.
Awalnya kita masih menyisir jalanan desa itu. Hingga
akhirnya jalanan semakin terbuka, dan kami mendapati hamparan sawah yang luas
di sekitar kami. Pandangan kami tak ada yang bisa mencapai beberapa kilo di
depan. Sehingga dengan sedikit percaya diri, bis dan elep pun tetap melaju ke
depan. Aaaaaaanndd it’s dead end.
Untung saja meskipun di sawah-sawah gitu, ada rumah warga
sekitar dengan halaman luas yang bisa dipake bis buat muter balik. Yo masio
supire kudu usaha jalano bise mundur sih. Tapi akhirnya kami sukses puter
balik, dan dengan pikiran yang logis kami kembali ke jalan yang sekiranya
benar.
Pembelaan dari Banjer: “Mbiyen aku rene numpak sepeda motor,
dadi yo sak erohku liwat kene (jembatan kayu).”
Cursed you, NJEERRR BANJER.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar