Twitter

Kamis, 23 Mei 2013

Nganggur Section: Display Picture Making

Beberapa gambar di bawah ini adalah hasil kengangguren saya dalam membuat desain DP (Display Picture) di BlackBerry Messenger.

Well, just take a look.








Senin, 13 Mei 2013

Cerita dari Kasur Pendamping Pasien #8: Hari Untuk Pulang dan Kembali




Hari ini, Jumat 10 Mei 2013, Ibu akhirnya bisa kembali ke rumah Tuban. Kemarin dokter sudah memberi izin untuk pulang. Sebenarnya, tenaga Ibu masih belum 100% pulih. Tapi semangat Ibu untuk sembuh dan rajin melatih ototnya bergerak itu yang membuat dokter yakin kalau Ibu pasti bisa sembuh dari penyakit GBS meskipun sudah tidak rawat jalan lagi. Setelah ini, Ibu hanya diwajibkan kontrol seminggu sekali. Tapi itu lebih baik, daripada harus berada di kamar pesakitan dan jauh dari orang-orang rumah. Lagian, bertemu dan berkumpul dengan orang-orang yang disayangi itu menurutku sudah menjadi obat tersendiri bagi Ibu. Hehe.

Well, kalau hari ini Ibu pulang, berarti ini saatnya juga aku untuk kembali. Aku sudah terlalu lama menghilang dari peredaran kampus. Setidaknya aku harus mulai aktif kembali untuk menyesuaikan dengan semua yang di sini.

Tepat pukul 12.30 siang, usai berkemas dengan Bapak dan dibantu Mbak Lia sepupuku, Ibu pun diantar sampai duduk di kursi mobil. Aku pun menyalami Ibu, dan pamit kembali ke Surabaya, dilanjutkan dengan berpamitan ke Bapak. Pintu mobil sudah ditutup, aku berjalan menuju parkiran motor dengan Mbak Lia, dan aku lihat mobil Bapak dan Ibu keluar dari gerbang rumah sakit. Aku pun mengucapkan terima kasih ke Mbak Lia karena sudah dibantu, dan akhirnya aku menuju motorku yang ku letakkan sedikit jauh di pojokan. Lega rasanya, Ibu sudah sembuh.

Sembari mengencangkan slayer di hidung dan mengenakan sarung tangan, pikiranku mulai terhenyak sedikit. Aku tiba-tiba seperti merasa asing dengan motorku, bahkan pikiranku sendiri. Entah, aku mungkin hanya berlebihan. Akhirnya aku hentikan paksa pikiran untuk berpikir macam-macam. Lekas aku gas motorku dan keluar dari rumah sakit, menuju Surabaya ibu kota Jawa Timur.

Singkat cerita, aku sampai di kos pukul 4 sore hari. Dan sepertinya waktunya tepat dengan waktu keberangkatanku ke Gresik, yang itu berarti aku sudah meninggalkan Surabaya 2 minggu lamanya. Benar saja, di parkiran motor rumah sakit aku sedikit merasa aneh. Di kosanku apalagi, aku malah merasa seperti alien di sini.

Pikiranku kacau. Aku seperti nggak tahu harus apa. Orang-orang tidak ada di kos, hanya ada Buk Sum yang sedang bersih-bersih kamar. Aku pun sempat ditanyai tentang Ibuku oleh Buk Sum ini. Ternyata Tyan, temen sejurusan yang juga sekosanku ngasih tahu Buk Sum kalau aku ke luar kota karena Ibuku sakit. Well, pembicaraan singkat ini tidak membantuku lepas dari rumitnya pikiranku. Aku menuju kamar, dan akhirnya aku bersihkan sedikit barang-barang di kamarku. Karena pikiranku yang masih ‘jetlag’, aku menuju balkon lantai dua untuk mencoba mencari udara segar.

Aku kembali. Itu yang ada di pikiranku. Tapi kemudian beberapa pertanyaan menyertai.

Bisakah aku mengikuti agenda kegiatan bulan ini?

Bisakah aku membantu progress usaha teman-temanku di sini?

Bisakah aku kembali berkoordinasi dengan yang lain?

Bisakah aku berguna?

Ah, I’m overthinked. Kemudian aku putuskan untuk kembali ke kamar dan rebahan. Akhirnya, aku perintahkan badan ini untuk tidur. Dan aku paksakan pikiranku untuk ‘sehat’, hingga ada satu kesimpulan yang bisa membuatku tidur nyenyak. Apapun yang terjadi saat ini, entah aku benar-benar bisa kembali atau tidak, aku tetap harus melakukan apa yang harusnya aku lakukan, dan membantu apa yang bisa aku bantu di sini.

Berpikir saja tidak akan membawa tubuh ke mana-mana.

Semangat!

Cerita dari Kasur Pendamping Pasien #7: How To Be A Good Mom’s Keeper




Aku bukan orang yang rajin, apalagi telaten. Tapi sekarang mau nggak mau ya aku harus bisa rajin dan telaten untuk membantu Ibu melakukan aktivitas. Seperti makan, sikat gigi, minum obat, hingga melatih tangan dan kakinya supaya bisa bergerak lagi. Okey, sebagai seorang anak laki-laki yang (berusaha) berbakti, aku harus bisa menunjukkan kalau aku telaten membantu Ibu di sini.

Aturan yang pertama, rajin.

Ibu adalah seorang pekerja keras. Dulu bahkan Ibuku seorang atlit voli. Tapi karena GBS ini, Ibu jadi lemah sendi dan otot-ototnya. Semua aktivitas mau nggak mau ya harus dibantu.

Aku adalah anak yang pemalas, suka bangun kesiangan, nggak pernah rapi dan serba berantakan. Tapi kalau sudah berhadapan sama urusan ginian ya aku harus bertransformasi jadi alterego-ku yang sebaliknya. Okey, maksa sih. Tapi otakku ini tahu situasi kok. Aku di kosan sering bangun kesiangan gara-gara ga dengar alarm bunyi pagi-pagi. Di rumah sakit ini, aku bisa segera bangun hanya dengan panggilan “Le..” dari Ibu, bahkan meskipun dengan suara rendah. Telingaku seperti kemasukan radar dengan sensitivitas suara yang tinggi. Wow deh. Pokoknya aku di sini sekarang mendadak jadi lebih rajin. Oke, meskipun kesimpulan ini sedikit tidak nyambung antara rajin, pemaparan contoh tentang bangun kesiangan dan panggilan Ibu,  tapi memang suara panggilan dari Ibu adalah alarm alami yang nggak bakal tergantikan seumur hidup.

Aturan yang kedua, telaten.

Menyuapi makan, memijat kaki dan tangan, dan memakaikan pampers adalah hal yang harus aku lakukan selama Ibu masih dalam tahap awal pemulihan. Okey, mungkin aku nggak jago menyuapi makan Ibu. Tapi percayalah, nggak ada kaitannya antara jomblo sama nggak jago nyuapi makan. Yang penting, telaten. Terus soal pijat memijat, aku mewarisi sedikit, atau mungkin secuil, ilmu mbah kakung-ku yang dulunya orang ‘pinter’. Oke, lagi-lagi mungkin nggak nyambung ya, antara ilmu orang ‘pinter’ sama bakat mijet, tapi seriously, memijat ini harus telaten. Hal yang nggak kalah kudu telaten, adalah memakaikan pampers. Well, anggap saja aku adalah calon ayah yang baik. Belum punya istri, bahkan pacar, tapi sudah belajar memakaikan pampers...meskipun ke orang tua. Hehe.

Anyway, semua hal yang harus dilakukan secara telaten ini mengingatkan aku pada masa kecilku dulu. Aku akui, dulu aku adalah anak yang rewel, makan susah, sering minta dipijet, dan ngompolan...oke aku bener-bener akuin itu. Dan membantu Ibu dengan menyuapinya makan, memijat, dan mengenakan pampersnya, aku jadi mengerti bahwa dulu Ibu pasti berusaha keras melakukan semua hal itu ke aku. Dan ini adalah waktunya aku membalas kebaikan Ibu yang tidak terhingga itu.

Aturan yang ketiga, sabar.

Kalau sabar adalah mata kuliah, aku pasti sudah dapat E. Hanya saja kali ini berkat otakku yang tahu situasi, aku jadi berusaha lebih sabar dan mencoba menahan semua emosiku yang berlebihan, dalam hal apapun. Misalnya ketika Ibu sedikit cerewet dalam mengingatkanku untuk mandi, makan, dan lain-lain. Dulu, sampai sekarang sih, aku sedikit malas kalau orang lain mengatur-atur jadwal pribadiku, bahkan Ibu sekalipun. Tapi ya aku dengarkan saja apapun yang Ibu ucapkan soal lekas mandi dan segera makan. Meskipun sedang sakit, tapi Ibu masih tetap rajin kalau mengingatkanku tentang macam-macam. Well, aku memang malas diingatkan terus-terusan, tapi hal ini juga yang membuatku kangen sama Ibu kalau sedang di kos. Hehe.

Intinya, kudu rajin, telaten, dan sabar. Yauda sih gitu aja.

Cerita dari Kasur Pendamping Pasien #6: Kangen Obrolan Kampus




Okay, ini cuma sekedar curhatan aja sih.

Baru kali ini aku ngerasa aku kangen obrolan kampus, padahal satu sisi aku juga ingin liburan. Tapi ya karena aku sekarang tidak sedang liburan, mungkin itu yang menyebabkan aku kangen sama obrolan dan teman-teman di kampus.

Harusnya beberapa hari ini aku ikut membantu acara Hutkom, launching Himakom, sampe ongkrah-ongkrah laboratorium, dan bantuin temen-temen yang ada di Sinematografi. Tapi ya sudahlah. Aku di sini punya misi yang lebih penting. J

But it’s a relief. Ada Tatit dan Kopler, kedua teman jurusanku, yang bela-belain jauh-jauh dari Surabaya, gak pake ngomong mau mampir, langsung menuju kamarnya Ibuku. Dan kehadiran kedua makhluk ini lumayan mengobatiku ngobrol bicara seputar kampus.

Beberapa hari kemudian, ada Reyhan, sobatku dari Riau yang berkendara seorang diri dari rumah neneknya langsung menuju sini, kemudian disusul Agung, temanku yang aseli Gresik, meramaikan suasana di kamar pasien ini. Terlebih lagi aku dibelikan mie setan malamnya, dan mie ini sukses membuat perutku panas sepanjang jam tidur berlalu. Pfft.

Aku senang, masih ada beberapa teman yang sempat ke sini walau ada kesibukan juga di Surabaya. Tapi bukan berarti aku menilai yang lain tidak peduli. Aku mengerti, di Surabaya pada bulan Mei ini memang sedang banyak acara. Dan harusnya aku memang tidak menyusahkan mereka semua. Doa yang mereka ucapkan untuk Ibuku sudah lebih daripada cukup.

Terima kasih teman-teman. J

Cerita dari Kasur Pendamping Pasien #5: Infeksi yang Tak Terdeteksi




Aku menulis ini hari Rabu, 8 Mei 2013. Dan sampai sekarang infeksi yang menyebabkan GBS pada Ibu belum diketahui. Hanya saja aku bersyukur, hari ini tepat 2 minggu Ibuku masuk rumah sakit, dan alhamdulillah Ibu sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri, walau masih tertatih dikit-dikit. Beda sekali dengan kondisi Ibu ketika awal masuk rumah sakit.

Ibu masuk Rumah Sakit Semen Gresik, Tuban, pada hari Rabu 24 April 2013. Kondisi Ibu di sini semakin memburuk. Atas rujukan dokter, Ibu dibawa ke Rumah Sakit Semen Gresik (RSSG), Gresik, pada hari Jumat 26 April 2013 agar bisa ditangani langsung oleh dokter Yusuf, dokter syaraf yang ada di RSSG Gresik.

Dari awal Ibu sudah difoto ronsen bermacam-macam. Bahkan sampai di RSSG Gresik, Ibu masih difoto lagi. Tapi kali ini fokusnya ke paru-paru. Karena dokter mencurigai adanya infeksi di bagian situ. Aku pun ikut meyakini, karena setahun yang lalu kalau tidak salah, Ibu sempat batuk-batuk parah. Tapi sama dokter cuma dikasih obat batuk biasa. Asumsiku, barangkali itu batuk ada kaitannya sama infeksi di paru-paru. Hingga akhirnya dokter syaraf bekerja sama dengan dokter paru-paru, kemudian Ibu di-USG dan foto lagi, eh, ternyata dokter paru-paru menyatakan tidak ada infeksi di bagian situ.

Aku menjadi semakin heran. Lantas di mana infeksinya?

Liver pun dicek oleh dokter Yusuf, tetapi hasilnya juga nihil. Lantas aku ingat Ibu sempat operasi patah tulang di kaki beberapa bulan lalu, dan Ibu pernah sambat jahitannya kebuka. Akhirnya aku sampaikan itu ke dokter, dan dokter pun saat ini sedang menelitinya.

Well, di mana pun infeksinya, aku harap tidak ditemukan di bagian vital. Aku cuma ingin infeksinya segera ditemukan dan Ibu bisa lekas memperoleh penyembuhan yang maksimal.

Cerita dari Kasur Pendamping Pasien #4: Guillain Barre Syndrome



Penyakit ini adalah salah satu dari beberapa penyakit langka yang membuat syaraf gerak bermasalah. Well, aku share sedikit pemahamanku mengenai penyakit ini. Jika ada yang salah, mohon koreksinya ya.

Sepemahamanku, penyakit ini adalah penyakit ‘nebeng’ yang perlu diwaspadai. Karena penyakit ini sebetulnya disebabkan oleh adanya infeksi di dalam tubuh terlebih dahulu. Jadi, sistemasi timbulnya penyakit ini diawali oleh infeksi di dalam tubuh (bisa juga disebabkan bekas operasi yang tidak beres) kemudian virus menyebar di peredaran darah pasien. Nah, imun dari tubuh pasien tidak bisa membedakan sel syaraf dan virus yang harus dilawan. Imun justru menyerang sel syaraf penggerak, dan ini berakibat syaraf penggerak jadi bermasalah sehingga beberapa anggota tubuh seperti tangan dan kaki jadi tidak bisa digerakkan.

Selengkapnya tentang GBS, aku baca di www.camar25.com/2012/11/radang-syaraf-penyebab-kelumpuhan.html

Ngeri, sebenernya. Kalau sampai tahap yang fatal bisa menyerang pernafasan. Selain itu penyembuhannya memakan waktu lama. Tergantung sudah seberapa parah penyakitnya ketika dibawa ke rumah sakit sih. Untung, ibuku cepat dilarikan ke rumah sakit.

Kronologisnya, Ibu sempat terjatuh di restoran pada hari Minggu 21 April 2013, tapi jatuhnya nggak parah sih, tapi sempet curiga ini penyebabnya. Senin 22 April 2013, Ibu menemani Bapak pergi ke Batam. Ibu tidak merasakan apapun yang aneh awalnya. Hingga Selasa 23 April 2013, Ibu merasakan kesemutan di tangan dan kaki. Tapi ibu masih sanggup berjalan dari hotel sampai ke gedung acara yang jaraknya lumayan jauh. Kemudian Rabu 24 April 2013, kesemutan di tangan dan kaki Ibu sudah luar biasa rasanya. Akhirnya Bapak yang membawa dan mengurus semua barang-barang yang dibawa mereka ke Batam. Pokoknya Ibu tidak boleh terbebani apapun. Sampai akhirnya tiba di bandara Ibu sudah lemas. Tepat Rabu malam, Ibuku sampai di rumah, kemudian langsung dilarikan ke Rumah Sakit Semen Gresik yang di Tuban.

Jadi, tidak ada jeda sama sekali di kasusnya Ibuku. Aku rasa, penanganan di Ibuku sudah benar-benar cepat. Jadi spekulasiku, Ibu tidak akan memakan waktu berbulan-bulan, seperti contoh penyembuhan GBS yang aku baca di internet.

Penyakit ini bisa dibantu penyembuhannya dengan suntikan Immuno Globulin. Semacam cairan tubuh manusia. Kalo yang diinjeksikan ke Ibuku, mereknya Gammaraas. Beruntung, Ibu ini sakitnya masih tanggungan perusahaan. Kalau tidak mungkin kami bakal berpikir dua kali untuk mengiyakan suntikan Immuno Globulin ini. Bayangkan saja, satu botol kecil itu harganya sekitar 3 jutaan! Sedangkan Ibuku harus diinjeksi obat ini 2 kali sehari, tiap sore dan maghrib, selama 5 hari berturut-turut. Total buat Immuno Globulin doang bisa sampe 30 jutaan. Fyuh.

Untuk obat-obatan yang diminum, aku kurang tahu. Pokoknya ada 2 hingga 4 jenis pil yang biasa diminum Ibu dari pagi sampai malam. Dan Ibu sama Bapak pake nambahin obat penyembuhan dengan membeli obat cina, yang mereknya Niwana (yang katanya Ibuku rasanya kayak pasir) sama Super Green Food (pil yang diminum 10 butir sekali masuk, baunya kayak pakan ikan).

Well aku nggak begitu percaya sama obat cina ini. Tapi ya sudahlah, Bapak dan Ibuku yang percaya obat ini bisa membantu. Jadi aku hanya membantu Ibu mengembalikan kepercayaan dirinya untuk sembuh dengan turut mendukung penggunaan obat-obat sodaranya Binahong ini.

Ada lagi, Ibu percaya sama cerita mas Andik, suami kakak pertamaku, kalau makan pisang bisa membantu nyembuhin otot-otot yang kaku. Kalau ceritanya mas Andik sih ekstrim ya. Katanya ada orang di desa, stroke, terus gak pake obat cuma makan pisang tiap hari uda sembuh sehat wal afiat. Well, tapi akhirnya nambah lagi daftar obat tambahan yang bakal dikonsumsi Ibu: “pisang”.

Cerita dari Kasur Pendamping Pasien #3: Penyakit Langka



Penyakit yang menyerang orang tua di usia lanjut memang variasi, dan rata-rata sedikit berbahaya. 1-2 hari di sini, dokter masih belum bisa mengetahui apa penyakit Ibuku ini. Yang jelas, dokter hanya menyatakan, Ibuku menderita penyakit langka. Aku jadi bertanya-tanya, kalau bukan stroke, lantas apa yang diderita Ibu?
Aku surfing di internet menggunakan handphone android-ku yang sinyal-nya mripit-mripit. Aku ketik keyword di Google, “Penyakit syaraf langka”. Well, loading lama, membuatku kudu sabar. Entahlah, ini rumah sakit sudah di kota tapi tiap masuk kamar ini sinyal jadi rada mbambet. Kalau keluar baru 3G-nya kerasa. Dan di sini aku cuma bisa menggantungkan nasib konektivitas email dan browser ke handphone android yang bersinyal EDGE nanggung ini.

“Guillain Barre Syndrome”, “Progressive Multifocal Leukoencephalopathy”, “Spinal Muscular Atrophy”....
Ketiga penyakit ini ciri-cirinya hampir persis dengan apa yang dialami Ibuku. Tapi dugaanku mengerucut ke “Guillain Barre Syndrome”, yang ciri-cirinya paling persis. Dan benar saja, sore hari Minggu 29 April 2013 dokter melakukan ‘lumbal’ (operasi kecil pengambilan cairan tulang belakang), kemudian hasilnya keluar Senin pagi hari berikutnya, dokter mengatakan, “GBS.”

Aku menjadi semakin gencar googling dan mengabari kakak-kakakku tentang penyakit ini. Kami berusaha  mencari informasi cara penyembuhan di mana-mana. Yang penting, kami ikhtiar dan berdoa semoga Ibu lekas sembuh dari penyakit GBS ini.

Cerita dari Kasur Pendamping Pasien #2: Pulang yang Tidak Pulang




Di perjalanan menuju rumah sakit yang ada di pikiranku hanya Ibu. Aku masih tidak percaya, beliau yang enerjik dan biasa bekerja dengan porsi berat di dapur mendadak terserang penyakit yang membuatnya setengah lumpuh. Bapak hanya menceritakan sedikit bahwa ibu ada radang syaraf di tulang belakang. Dan ini menyebabkan ibu tidak bisa menggerakkan kaki dan tangannya karena kaku. Aku jadi menerka-nerka, apa mungkin ini stroke?

Usia ibuku sudah tidak muda. Stroke, adalah penyakit mainstream yang biasa aku dengar di kalangan orang-orang yang mau pensiun. Well, ya, Bapakku pensiun bulan September. At least, aku dan sekeluarga bersyukur Ibu sakit pas Bapak belum pensiun, jadi ini masih tanggungan perusahaan.

Aku sampai di rumah sakit. Di sini, di kamar 217 ini, aku bertemu dengan kedua orang tuaku. Biasanya mereka menyambutku dengan senyum yang mengembang. Kali ini, ada yang menghambat senyum itu berkembang dari wajah mereka. Ya, bisa dikatakan aku ‘pulang’, karena bertemu dengan kedua orang tuaku. Tapi sayangnya, aku pulang tapi tidak untuk pulang. Aku punya misi untuk mendampingi Ibuku sampai beliau sembuh.

Pukul 8 malam hari, Bapak meninggalkan aku dan Ibuku di kamar ini. Sempat terlintas dalam benakku bahwa aku akan betah di sini. AC, kamar mandi dengan air hangat, serta televisi kabel, semuanya adalah fasilitas langka yang jarang aku rasakan sebagai anak kos (I admit it, though). Well, tapi siapa yang mau betah di rumah sakit? Aku marah sama pikiranku yang membetahkan diri di sini. Aku harus berusaha membantu dan mendampingi Ibu agar bisa lekas keluar dari tempat ini.

Cerita dari Kasur Pendamping Pasien #1: Skala Prioritas




Jumat, 26 April 2013. Aku terkejut mendapati kabar dari Bapak kalau Ibu masuk Rumah Sakit. Apalagi kali ini penyebabnya tidak sama dengan operasi patah tulang kaki beberapa bulan lalu. Ini beda lagi. Katanya radang syaraf tulang belakang. Dan itu membuat ibu tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Seketika seharian itu pikiranku jadi tidak fokus karena memikirkan ibu.

Aku hari ini ada jadwal latihan band dengan teman sejurusan dan rapat di sekre Sinematografi UA, selain itu aku juga meminta tolong Mandor, temanku sejurusan untuk membenahi laptopku. Aku sedikit  kebingungan mengatur waktu. In the end, aku berakhir mengorbankan jadwal latihan band. Padahal aku sudah ngempet pengen gebuk-gebuk drum atau genjreng-genjreng gitar pake distorsi. Tapi ya sudahlah, aku nggak punya waktu banyak.

Setelah laptopku kembali sehat dari sakit Blue Screen Of Dead, aku berterimakasih kepada Mandor, dan menyegerakan diri untuk ke rapat di sekre sinema kampus C. Sebelumnya, aku meminta maaf dulu kepada teman-temanku yang sudah terlanjur aku ajak latihan band. Karena gak enak sama mereka. Aku yang inisiatif ngajak latihan tapi aku sendiri yang mengacaukan.

Sore pukul empat. Aku mempercepat langkahku menuju sekre sinema. Berharap aku bisa segera mengkoordinasi teman-teman divisiku untuk mengadakan 2 acara les edukasi esok dan beberapa hari ke depan. And, voila. Aku justru mendapati rasa sungkan di sekre. Teman-teman sedang mengadakan bersih-bersih sekre. Dan tentu saja, aku sebagai orang yang baru datang dan yang butuh segera bergegas pergi lagi, jadi tidak enak hati. Tapi ya sudahlah. Aku sendiri berusaha menenangkan diriku dan akhirnya bisa mengkoordinasikan semua yang aku rasa perlu didiskusikan sebelum aku cabut. Well, aku nggak pandai menyampaikan pesan. Aku nggak mau alasan ibuku sakit jadi penghambat koordinasiku dengan orang-orang di sini. Tapi at least teman-temanku mengerti dan memahami situasiku saat ini, aku jadi sedikit lega.

Aku mempercepat laju motorku ke kosan. Aku memasukkan barang-barang dan pakaian seperlunya, dengan estimasi aku belum akan kembali ke Surabaya kira-kira seminggu ke depan. Entah, instingku berkata demikian. Tidak ada maksud untuk lari dari rutinitas, ini tentang prioritas!

I still remember a quote from anonymous: “Family is number one.”