Twitter

Jumat, 08 Maret 2013

“Misi Menapaki Teluk Hijau” Chapter III : “Kita Nggak Akan Ambil Resiko.”


Sampai di pos penjagaan itu ternyata bukan berarti kami sudah dekat dengan Teluk Hijau.

Kata penjaganya, kami harus berjalan sekitar satu jam lebih menyusuri hutan agar sampai ke teluk yang airnya berwarna ijo itu.

Kami pun dilema. Antara mau nekat tetap lanjut jalan kaki dengan harapan kemping di Teluk Hijau, atau menuruti apa kata penjaga dengan menetap semalam di pos penjagaan dan jalan kaki pagi-pagi untuk sampai ke Teluk Hijau.

Diskusi yang panjang antara Mas Gimon, Mandor, Tatit, Banjer, dan Pak Penjaga pun tetap menghasilkan dua opsi yang sama: lanjut atau berhenti sementara.

“Kita nggak akan ambil resiko. Jalan yang kita tempuh masih jauh. Selain itu temen-temen kita yang cewek juga banyak. Aku sih budal tok. Tapi kalo jumlah kita yang banyak ini dipacul tetep jalan, resikonya terlalu besar.” ujar Mas Gimon ke semuanya.

Aku dalam hati sih tetap ingin nekat malam-malam menuju Teluk Hijau.

Tetapi, akhirnya setelah berpikir bersama sejenak, kami memutuskan untuk bermalam di pos penjagaan. 
Meskipun akhirnya kurang berkesan ‘ngecamp’ di hari pertama, tapi ya sudahlah, salah kami, terutama Banjer juga. Pakek nyasar segala. Pfft.

Akhirnya kami meletakkan barang-barang di pos penjagaan. Hampir sebagian dari kami menyempatkan untuk mandi. Tapi kalo aku sih ya meskipun bermalam di rumah, badan tetep ngecamp mode on: ANTI MANDI. Hahaha.

Dengan sedikit bau badan yang tidak menyengat, aku membantu teman-teman yang sudah bersemangat memasak di dapur. Tetap dengan komando Mandor, semuanya berhasil memasak nasi, sarden kalengan, dan mie untuk semua orang di sana, termasuk supir dan pak penjaga.

Demi menghidupkan suasana, kami yang di sana pun bersenda gurau, bermain kartu, dan ada yang tidur lebih awal. Si Banjer selaku warga sekitar juga berusaha bersosialisasi dengan pak Penjaga. Sedikit-sedikit terdengar kisah horor tentang adanya pasangan yang mesum yang lari pontang-panting dari sini karena melihat ‘sesuatu.’ Ada juga yang masih nggak percaya kalo kebo-nyante-dipinggir-pante itu tadi adalah nyata, bukan iblis atau jin semacamnya.

Aku yang sedikit kecewa dengan bermalam di pos penjagaan, berencana untuk berkespedisi sendiri dengan jalan-jalan malam, sendirian. Well, tapi akhirnya ada yang sepikiran. Bima, si Watu yang juga survivor commcamp 1 akhirnya jadi teman jalan malam. Selain itu, ada juga Elsa, commcampers baru yang ternyata sense of adventure-nya juga tinggi.

Akhirnya, kami bertiga memutuskan untuk keluar dari pos penjagaan dan berjalan ke tempat yang kami sendiri tidak tahu mau ke mana.


--foto: tangan Kang Uman membredel kaleng sarden yang nahas di dapur--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar