Intinya kami pulang.
Dan kami, tepar.
Perjalanan pulang kami ditemani oleh angin malam dan hujan rintik-rintik. Di dalam truk pun aku hanya bisa melihat teman-teman semua pada tidur, dan sesekali bangun hanya untuk ganti posisi tidur.
Aku?
Mungkin aku makhluk satu-satunya yang tidak tidur. Mungkin, sih.
Kalaupun aku tidur, aku masih bisa mendengar suara-suara di sekitarku. Jadi intinya juga aku gak tidur.
Di tengah perjalanan aku juga sempat bercanda sama sobat absurdku, Bima. Kami membuat pantun dan dinyanyikan dengan nada lagu 'Paribasane' dari Arek Band. Kami juga membicarakan berbagai macam hal, mulai dari musik sampai mengulang cerita lagi saat tersesat di hutan.
Dan di tengah perjalanan aku juga menemukan suatu fakta penting, bahwa...
BIMA,
adalah nama dari sebuah toko pijat urat spesialis keperkasaan pria.
Lengkap dengan gambar (wayang) Bima di depan tokonya.
Aku ketawa guling-guling.
Gak sih, ketawa ngakak aja. Kalo guling-guling bisa-bisa aku jatuh dari truk yang gak dibuka penutup belakangnya.
oke, cukup tentang Bima dan keperkasaan pria.
Perjalanan pulang dimulai pukul 17.30, dan kami sampai di Polda Surabaya pukul 22.00
Setibanya kami di Polda, kami menurunkan barang-barang dan memastikan tidak ada yang ketinggalan. Termasuk uang urunan yang kurang -_-
Kami menambah 15.000 per orang untuk biaya masuk ke Sempu dan sewa perahu.
Aku pun meminta Ayip, Kiki, dan Luqman untuk meminjamkan kartu memorinya ke aku dulu, biar aku pindah datanya dan bisa cepat mengedit filenya. Tapi akhirnya sampai hari ini file video-nya belum aku edit juga -_-
Ada pula kenangan secarik peta yang kami gunakan saat tersesat di hutan. Awalnya, Tatit yang akan menyimpannya di kos. Tapi akhirnya aku meminta peta itu untuk aku pajang di tembok wall of fame kosanku, dan voila, inilah sisa-sisa perjuangan dari Sempu itu,
Sesampainya aku di kos, aku langsung menempelkan peta ini dulu di tembok, dan sebelah kanan itu adalah stiker "PRIDE" yang daridulu SMA aku pasang di salah satu tas ranselku. Dan sayang sekali buasnya tumbuhan di hutan Sempu telah merobek stiker itu dan kini aku hanya bisa mengenangnya lewat tembok ini.
Setelah menempelkan benda kenangan, aku langsung melanjutkan dengan cuci-cuci baju dan barang-barang.
Meskipun aku sendiri masih belum percaya bahwa aku bisa keluar dari hutan kemarin malam, tapi setidaknya aku sekarang sudah di sini.
Di Surabaya.
Di kosku tercinta.
Dan besok Selasa aku harus pulang ke Tuban.
Sekian untuk rangkaian cerita "Catatan Perjalanan ke Sempu" ini yang menghabiskan XIII seri sekaligus.
Dan mohon maaf bila di paragraf pertama aku ngomongnya gak mau cerita panjang lebar tapi akhirnya panjang lebar juga.
Semoga tidak ada yang mengalami nasib seperti kami ber24 yang nyasar di hutan Sempu lagi. Kalaupun ada, semoga mereka bertemu dengan abang tukang bakso di hutan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar