Twitter

Selasa, 09 Oktober 2012

Karena Kapal Karam Harus Diderek Kembali ke Dermaga

"Ibarat kapal, aku sempat terisi, ternahkoda-i, tapi langsung hilang begitu saja." ujar Luqman, salah satu sohib karibku malam ini yang sedang mengumpamakan dua kehidupan individu yang berbeda, dengan ilustrasi sebuah kapal.
"Dan ibarat kapal, aku adalah Titanic, yang terisi penuh, megah, mewah, tapi menubruk es, hancur, karam, musnah tenggelam di lautan." timpalku dengan wajah menyamakan Leonardo Dicaprio.

Malam ini aku kembali 'bermasturbasi' dengan pikiranku sendiri. Bermonolog. Berbicara dengan langit dan bulan di kala petang, menikmati kesuntukan dan kejenuhan yang ada di pikiranku. Kalau biasanya aku habiskan dengan mendengarkan lagu dan sebatang kawan asap, kali ini aku alihkan pikiranku ke arah buntu yang produktif. Yaitu menulis puisi. Dan hasilnya adalah empat puisi yang sudah aku posting barusan. Semuanya adalah karya yang lahir begitu saja di balkon kos-kosan dengan tinta dan lembar binder catetan kuliah yang aku secara gak sengaja aku jadikan korban coret-menyoret diksi malam ini.

Tapi tak lama setelah aku menyelesaikan keempat puisi itu, Luqman menghampiriku. Ia menanyakan, dan lebih tepatnya khawatir sama kondisiku yang akhir-akhir ini emang lebih kelihatan kayak korban bencana alam gak niat kuliah daripada akademisi yang aktif dan berprestasi. Aku luapkan aja semua yang aku rasain, mulai dari suntuk, buntu, jenuh karena kebanyakan kegiatan, dan lain sebagainya, sampai dia juga membalas meluapkan sesuatu. "Oke, sek yo, ngeseng disek." katanya sembari melengos pergi ke kamar mandi.

Tak lama setelahnya, ia kembali, dan kami pun kembali terlibat dalam pembicaraan absurd bin sliut sliut.

Sebenarnya, inti dari pembicaraan ini adalah curhat dan saling bertukar pikiran saja satu sama lain. Luqman menceritakan kondisi pribadinya ke aku, dan aku pun demikian. Tapi yang paling aku ingat adalah pembicaraan tentang pengandaian kapal, aku, dan dia dalam lautan arus kehidupan.

Jika ia seperti kapal yang aku sebutkan di atas, maka aku juga, seperti Titanic, seperti yang aku sebut di atas juga.
Tapi aku sekarang tahu, jika aku seperti demikian, maka yang perlu aku lakukan agar 'kapal'ku yang karam bisa berlayar kembali di lautan luas adalah mengembalikannya ke daratan, memperbaiki, dan menambahi muatannya dengan barang-barang yang diperlukan, baru setelahnya melanjutkan ekspedisi ke seluruh isi dunia.

Yang jadi persoalan sekarang, semua yang di atas adalah tak lebih sekedar sebuah abstraksi.
Lantas, bagaimana perwujudan dan eksekusi yang harus aku lakukan?
Nah, itu dia yang harus aku temukan sendiri.
Aku sadar malam ini, dan harusnya sadar dari dulu jauh-jauh hari. Bahwa tidak ada seorang pun kecuali diri sendiri yang bisa menolong diri sendiri.

Memang kadang itu semua tak semudah bagaimana aku mengatakan atau menuliskannya. Tapi dengan membuat semuanya terbiasa, dan menjalaninya dengan biasa, who knows?

I'll fix my ship, and go back to a voyage that I've been delayed. Soon, after I finish with all.

Thanks, Man.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar